40/VI 04 Desember 1976 Send this article Email : Antara ulama dan umaro Musyawarah kerja majelis ulama jawa barat di bandung lancar. kerjasama ulama umaro perlu ditingkatkan. penelitian perlu dikerjakan dan keterbukaan kritik. (ag) MUSYAWARAH Kerja Majelis Ulama Jawa Barat yang berlangsung di Bandung awal Nopember tampaknya berjalan cukup lancar. Setelah mendapat bekal pengarahan dari Mendagri di Gedung Merdeka, akhirnya para ulama dari seluruh Jawa Barat itu bermusyawarah selama tiga hari untuk kemudian beraknir dalam suatu malam ramah tamah di aula Unisba. "Pokoknya", kata KH EZ Muttaqien, Ketua MU Jabar, "muker menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, mempererat hubungan alim ulama se Jabar dengan hadirnya utusan-utusan dari tingkatan kecamatan. Dengan begitu, kepemimpinan MU dimantapkan. Sedang yang kedua, adalah mengoperasionilkan program". Program yang sudah dicantumkan sejak lama itu, mencakup banyak hal. Selain masalah peningkatan kecerdasan dan kesadaran ummat dalam beragama masalah pembangunan, masalah kerukunan ummat beragama dan masalah da'wah, juga ada dicantumkan masalah penghimpunan dana (di Jawa Barat ribuan hektar tanah wakaf terkatung-katung. Malahan di Cianjur tanah wakaf jadi stasiun bis) serta masalah kerjasama antara ulama dan umaro atau penguasa. Perlu dicatat bahwa MU Jabar pertama kali terbentuk tahun 1958, dengan prakarsa Penguasa Perang Daerah Swatantra I Teritorium III waktu itu. Dibentuknya MU tersebut, tiada lain dalam rangka mewujudkan Badan Kerja Sama Ulama-Militer atau BKS U-MIL guna menciptakan pemulihan keamanan di Jawa Barat. Maklum waktu itu Jawa Barat sedang hangat-hangatnya diganggu DI-TII. U.U. Perkawinal DI-TII sekarang tiada lagi. Namun peranan MU, dan juga kerjasama ulama umaro itu tampaknya masih harus terus ditingkatkan. Sehingga muker MU Jabar yang kini sudah menyatu dengan MU tingkatan nasional itu, masih juga dengan hangat menyorotinya. "Dalam target program sampai tahun 1978", kata Muttaqien, "antara lain muker menekankan di bidang hukum dan fatwa yang meliputi penelitian, lokakarya dan penyusunan langkah-langkah selanjutnya". Sebagai misal, Muttaqien antara lain menyebut "meneliti W Perkawinan ditinjau dari segi kemanfaatan serta kesulitannya, dan akibat langsung terhadap pembinaan keluarga seiahtera". Tampaknya ulama terusrisau tentang UU Perkawinan yang ada sekarang ini. "Banyak kasus yang terjadi, yang justru melanggar kaidah Islam", kata Muttaqien. "Banyak suami isteri yang cerai begitu saja, tanpa mengikuti aturan yang seharusnya, atau juga yang menikah secara agama saja, tidak terus didaftarkan". Kalau saja hal ini diteliti, Muttaqien punya harapan "barangkali nanti akan tahu bagaimana sebaiknya". Yang jelas UU Perkawinan sekarang banyak tersangkut di sana-sini. "Pelaksanaannya masih kurang, karena tidak diperhitungkan sebelumnya", kata Muttaqien. Yang pantas diteliti, juga masalah aliran kepercayaan. "Mereka jangan dihadapi secara bombastis", kata Muttaqien lagi. "Tapi harus diselidiki faktor-faktor apa saja yang menyebabkan berbagai aliran dewasa ini. Karena frustrasi politik atau sebab yang lain?" Muttaqien mengingatkan, umumnya aliran yang dilarang Pakem, tendensinya politik. Apalagi jika dilihat, umumnya aliran kepercayaan itu memandang Islam dengan pandangan benci. "Dalam soal ini ada kekeliruan", kata Muttaqien. "Apakah kekeliruan informasi, kekeliruan pergaulan atau bisa juga karena kekeliruan politik. Dua kekeliruan yang pertama bisa diperbaiki oleh ulama dan penganut aliran kepercayaan' itu sendiri. Tapi kalau kekeliruan politik, itu sudah jadi urusan pemerintah". Kritik Muttaqien juga agak menyesalkan gencarnya sorotan terhadap Islam akhirakhir ini. "Baik pemerintah, atau ummat Islam masih banyak kekurangannya. Tapi jangan dari soal itu akan menjadi pancingan", katanya hati-hati. "Dalam membina ummat", kata Ketua MU Jabar yang merangkap jadi Rektor Unisba ini "tidak selamanya kita harus mempergunakan penerangan listrik. Ada kalanya hanya dengan petromak atau bahkan lampu pelita sekalipun. Tapi soalnya, barangkali buat orang Jakarta pemakaian lampu pelita itu terlalu sukar difahami". Bagi Muttaqien suksesnya pemilu adalah juga "menghindarkan infeksi politik setelah pemilu". Dalam hal keterbukaan terhadap kritik, Muttaqien bilang "Saya pernah bicara pada Pak Gubernur Jabar: dalam sebulan, saya tiga kali menjadi khatib Jum'at dan sekali menjadi ma'mum, mendengarkan apa yahg dikatakan orang lain". Kabarnya, Gubernur Jabar mengangguk setuju akan misal begitu. Keterbukaan itu tampaknya hendak ditanamkan dalam tubuh MU. Apalagi kerjasama ulama-umaro sampai sekarang masih tampak terpincang-pincang. "Bagi kami", kata Muttaqien, "wajah Indonesia itu hanya satu. Tidak ada bekas komunis, tidak ada bekas DI-TII. Banyak sahabat nabi yang pernah hidup di zaman jahiliyah, tapi setelah mereka menjadi muslim, masa lampaunya tak pernah disebut-sebut lagi. Kecuali kalau mereka memang sudah membuka front. Itu tentu harus dihadapi". TEMPO http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/1976/12/04/AG/mbm.19761204.AG70618.id.html 34/VI 23 Oktober 1976 Print Peringatan Keras Dari Sudomo Kaskopkamtib sudomo melarang mahasiswa bandung ber demonstrasi. alasannya: tak ada izin rektor demonstrasi dan berkelompok lebih dari 5 orang melakukan tindakan yang mengganggu keamanan. (nas) KEPALA Staf Kopkamtib Laksamana Sudomo akhir pekan lalu kasih "peringatan keras" kepada para mahasiswa. Menurut dia, para mahasiswa dari Bandung dicegah masuk ke Jakarta karena tiga hal: Pertama, tak ada ijin Rektor. Dua, demonstrasi dalam bentuk apapun, serta berkelompok lebih dari 5 orang dengan tuiuan tertentu ada larangannya -- dan itu tetap berlaku. Ketiga, mereka mencoba melakukan tindakan yang akan mengganggu kestabilan nasional. Bagaimana keterangan pihak mahasiswa, rektor dan DPR? Sebelum berangkat ke Jakarta kali ini, Iskadir Chottob 11 Oktober menemui Rektor Unpad memberitahukan maksudnya. Dan Rektor mengiyakan, sambil wanti-wanti supaya tertib, tidak menyinggung pribadi, dan beberapa nasihat lainnya. Tapi tak ada disinggung perkara surat ijin dan semacamnya. "Sampai sekarang kami memang tidak tahu tentang harus adanya ijin-ijin untuk keperluan macam itu", tambahnya. Tapi dari KH EZ Muttaqien, Rektor Unisba (Universitas Islam Bandung) yang DM universitasnya termasuk salah satu rombongan ke Jakarta diperoleh keterangan bahwa memang ada semacam konsensus antara rektor dengan Menteri-Menteri Ekuin. "Sehabis terjadinya heboh Pertamina", kata Muttaqien yang ditemui Abdullah Mustappa dari TEMPO di rumahnya, "ada pertemuan antara rektor se Jawa dengan para Menteri Ekuin. Dalam pertemuan tersebut dicapai konsensus, bahwa dalam masalah-masalah nasional, mahasiswa hanya boleh menanyakannya lewat Rektor. Untuk nantinya Rektor itulah yang menyampaikannya kepada Menteri yang bersangkutan". Tapi Muttaqien sendiri ingat benar, ia pernah meminta kepada Menteri Sadli, agar sekali-sekali membuka juga kesempatan agar mahasiswa bisa bertemu langsung dengan Menteri yang bersangkutan. Tentang kejadian pekan lalu itu, Muttaqien menyesalkannya. DM Unisba tidak menemuinya sebelum berangkat. "Kalau saja kami ketemu sebelumnya", kata Muttaqien, "mungkin para mahasiswa itu bisa lebih tertib dan niatnya bisa kesampaian". Iskadir Chottob sendiri merasa belum mendengar adanya konsensus antara Rektor dengan Menteri Ekuin seperti yang dikemukakan Muttaqien. Dari DPR, keterangan yang diperoleh cukup diplomatis. "Kami belum dapat pemberitahuan tentang kedatangan mahasiswa Bandung itu", kata Sumiskum, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Karya kepada Syahrir Wanab dari TEMPO. Namun, sebagai lembaga wakil rakyat, "kami di DPR selalu siap menerima siapapun yang datang" http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1976/10/23/NAS/mbm.19761023.NAS70338.id.html 35/VI 30 Oktober 1976 Print Tidak jadi ada gerhana ? Kh.e.z. muttaqien, rektor unisa, berkhotbah tentang gerhana matahari sebagai peringatan tuhan. kota-kota yang mengalami gerhana matahari total yaitu dares salam danmelbourne. indonesia akan mengalami th 1983. (ilm) AULA Universitas Islam Bandung (Unisba), sejak jam 10 Sabtu lalu sudah penuh manusia. Jam 10.20, berlangsunglah sembahyang khusuf, bertepatan dengan gerhana matahari yang sudah mulai sejak jam 10 -- meski belum terlihat oleh mata manusia di pulau Jawa. Mungkin sembahyang di Unisba itu yang paling pagi. Sebab untungnya mesjid -mesjid di Bandung baru melangsungkan sembahyang khusuf setelah shalat lohor. "Lihatlah contoh Nabi", kata Rektor Unisba, KH E.Z. Muttaqien sebelum shalat khusuf dimulai. "setiap ada gerhana bulan atau gerhana matahari, Rasul selalu bersembahyang, berkhotbah dan bersedekah. Bersedekah apa saja demi keperluan sosial". Dalam khotbahnya sang rektor melihat gerhana matahari itu sebagai peringatan dari Tuhan. "Ada peringatan yang sifatnya kasar, seperti banjir, kebakaran atau sakit badan. Tapi kecuali itu, Allah pun perlu memberi peringatan orang cerdik pandai dengan peringatan halus. Misalnya gerhana". Kira-kira jam 11.40, setelah sembahyang khusuf selesai, baru gerhana matahari itu tampak di Bandung. Di Jakarta, di berbagai mesjid orang bersembahyang khusuf. Tapi sayang, meski sejak jam 10 orang sudah menunggu-nunggu, penduduk ibukota banyak yang kecewa karena tidak menyaksikan gerhana atau tanda-tandanya di sekitarnya. Mungkin hanya para pengamat yang berada di laut seperti yang disiarkan oleh TV-RI, malam harinya -- dapat menyaksikan bagaimana proyeksi bayangan bulan ke bulan memblokir sebagian sinar matahari selama 3 menit. Di atas kota Jakarta sendiri, awan melindungi matahari sejak jam 10. Suhu udara, yang di Melbourne (Australia) diperkirakan akan turun 11ø Celcius. di Jakarta tetap saja bertengger pada 31ø C . Panas dan terang benderang . Padahal tak sedikit orang tua yang malahan anaknya di rumah -- takut buta, bila memandang gerhana. Kota-kota yang lebih beruntung menyaksikan gerhana matahari secara total adalah Dares-Salam, ibukota Tanzania. Dan Melbourne, ke mana para ahli ilmu falak dari seluruh dunia berdatangan. Termasuk Dr Bambang Hidayat dari peneropong bintang Bosscha di Lembang. Jadi kalau dikatakan bahwa gerhana matahari ini berlangsung dari 9.40 WIB sampai 14.50 WIB, itu memang betul. Hanya saja tiap-tiap kota yang dilaluinya hanya kebagian gelap (atau remang-remang) selama maksimal 3 menit mengingat kecepatan bergeraknya bayangan bulan yang di atas 1000 KM/jam itu. Indonesia sendiri baru akan beruntung menyaksikan gerhana matahari total tanggal 11 Juni 1983. Itupun hanya daerah-daerah di selatan katulistiwa, dan dimulai dari Jawa Tengah sampai bagian selatanl Irian Jaya (Merauke). http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1976/10/30/ILT/mbm.19761030.ILT70425.id.html Print Masa Baru Dalam Dakwah, Mudah-mudahan SK Menteri Agama no.44/1978, menyatakan da'wah agama, kuliah subuh lewat radio tidak memerlukan izin. Semoga hal ini menimbulkan suasana baru yang lebih baik, walau belum semua daerah menikmatinya. (ag) SUDAH dua setengah bulan yang lalu terdengar berita itu. Surat Keputusan Menteri Agama Alamsyah, bernomor 44/1978, menyatakan bahwa da'wah agama, sebagaimana juga kuliah subuh lewat radio, tidak lagi memerlukan izin. SK yang dikeluarkan 23 Mei itu dinyatakan Menteri merupakan hasil pertemuannya dengan Pangkopkamtib tiga hari sebelumnya. Dan dengan itu diharapkan tcrjadi perobahan. Khotbah Jum at, seperti di beberapa daerah -- misalnya Bali -- tak perlu lagi harus didahului penyerahan naskah kepada lurah, camat dan Kanwil Departemen Agama. Mubaligh dari Bandung yang cuma hendak memberikan akad nikah di Subang, tak perlu dibatalkan oleh pihak otorita setempat. Prof. Hamka sendiri dahulu, di kampungnya, Payakumbuh, sudah naik mimbar toh disuruh berhenti bicara, Demikian juga Jawa Timur misalnya terkenal sebagai daerah yang banyak menghadapi kasus perizinan da'wah. Dan sekarang, di hari-hari awal bulan puasa, bagaimanakah perkembangan di daerah? Berikut ini sekedar laporan dari berbagai pelosok. Awal Juli kemarin, mesjid Cupak di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, dipadati pengunjung. Organisasi Wirid Remaja Cupak malam itu melakukan peringatan Isra' Mi'raj. Yang akan bicara sudah datang: seorang dosen IAIN dari Padang, drs. Amirsyah namanya. Tapi pengajian tak kunjung bisa dimulai -- dan memang takkan bisa dimulai, sebab tiba-tiba Letda Pol. Sulono, Dan Sek setempat bersama Wali Negeri memberitahukan, bahwa izin Dan Res 309 Kabupaten Solok tidak keluar. Pengunjung dipersilakan pulang. Masih di Sumatera Barat, di Pesisir Selatan peraturannya lebih ketat. Pembicara dari luar daerah tetap tak dibolehkan masuk -- seperti dituturkan seorang mubaligh kepada TEMPO Polisi akan selalu menolak argumentasi bahwa sudah ada instruksi Kopkamtib untuk tak perlu lagi menuntut permohonan izin kecuali dengan pihak KUA. Sisa-sisa pelarangan masa lampau sendiri, khususnya terhadap para da'i yang dinilai "keras," belum lagi hilang -- kalau tidak malah akan tetap dan menjadi kebijaksanaan baru. Bukan saja yang bisa berkhotbah di mesjid besar hanya melulu para da'i (juru da'wah) yang "nak" -- seperti di Banda Aceh, di Mes Ampel Surabaya, dan praktis di sem: mesjid agung di kota kabuparen. Tetapi juga satu-dua kasus pelarangan da'i "garis keras" masih terjadi. Di Kalimantan Selatan H. Birahsani, bulan Rajab kemarin tiba-tiba dilarang Camat Awayan. Padahal, "saya dilahirkan dan dibesuk di Awayan," kata Pak Haji --- sedang isi ceramahnya sehari sebelumnya (yang, diketahuinya ada direkam oleh seseorang) menurut pengakuannya sendiri "sama sekali tidak meremehkan hasil-hasil pembangunan," katanya. Tentu saja perobahan tak mungkin datang serta-merta. Seperti dikatakan Menteri Alamsyah sendiri -- di depan Lokakarya Peningkatan Da'wah yang diikuti utusan ulama se-Sumatera Barat masih dibutuhkan waktu. Ibarat cekcok kecil dalam rumah tangga. "Dengan isteri saja kita memerlukan sehari-dua untuk ada saling pengertian lagi." Maka kalau ada di sana-sini hal-hal yang belum jalan, itu karena kita sedang mencari "rasa," katanya. Tetapi Alamsyah, dalam pengumuman tentang da'wah di bulan Mei itu, juga sudah menyatakan bahwa dengan pencabutan izin tidak berarti para da'i tidak diminta ikut menjaga stabilitas nasional. Tidak "mengganggu jalannya pembangunan nasional" dan sebagainya. Sedang Kaskobkamtib, sehari setelah pengumuman Menteri Agama, masih mengharapkan da'wah jangan dijadikan "khutbah politik." Bahkan di awal Agustus Kaskopkamtib memerintahkan Laksusda Jaya untuk mengatur pelaksanaan kuliah subuh melalui radio -- bersama dengan Kanwil Departemen Agama. Perintah tersebut berdasar hasil pembicaraan telepon dengan Menteri Agama sebagai kelanjutan SK Menteri di muka. Walhasil "kita sebaiknya tak perlu menyimpang ke sana ke mari dalam pidato, kalau akhirnya akan merepotkan diri sendiri." Demikian nasihat Ustadz Muhammad Ghazali Hasan, Ketua Front Muballigh Islam Sumatera Utara. "Kita juga harus bicara pada masalah yang memang benar-benar dikuasai." Anjuran untuk "pandai-pandai membawa diri" juga datang misalnya dari Mukeri Gawith, da'i yang kini menduduki kursi salah satu Wakil Ketua DPRD Kalimantan Selatan. Juga dari seorang sekretaris Dewan Da'wah Kalimantan Selatan -- yang malah juga menuturkan bahwa Dewan Da'wah Kalsel sebenarnya selalu menganjurkan para da'i untuk sedapat mungkin "dekat dengan para penguasa." Sebab kalau dipikir-pikir kalangan penguasa sendiri sebenarnya membutuhkan da'wah, bukan? Tak heran bila mereka selalu memilih para da'i yang "lunak", yang takkan menyebabkan mereka kikuk, misalnya. Betapapun, kebebasan memang sudah terasa sekarang ini. Moh. Natsir, Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, menyatakan bahwa "keterangan Menteri Agama itu pada umumnya melegakan masyarakat." Bahkan "mudah-mudahan menimbulkan suasana baru yang lebih baik." Sedang Yusuf Hasyim, anggota DPR yang juga kyai Pesantren Tebuireng, menyatakan bahwa "sekarang bisa diharapkan para da'i tidak memberikan pidatonya dalam situasi kedongkolan -- yang bisa mempengaruhi ucapan-ucapannya." "Bayangkan bagaimana tidak mendongkol, kalau untuk mengurus perizinan pengajian saja musti menghubungi 5 sampai 12 instansi!", katanya. Atau seperti di Padang mereka berjalan lebih 100 km. Kalau ternyata sang da'i tak disukai, mereka bukan ditolak -- melainkan izinnya "digantung". Mereka akan kembali dua tiga kali, lalu disuruh menunggu sampai acara akan berlangsung. Kemudian, ternyata, tak diizinkan. Tetapi sebentar lagi tentu tidak begitu. Walaupun sekarang ini kebebasan itu diduga kuat memang belum merata. Seperti dikatakan Hasyim Latief, Wakil Ketua DPRD Jatim dan wakil PPP, daerah Jawa Timur -- sampai berita ini dilaporkan -- sebagian besar masih belum menikmatinya. "Beberapa daerah sudah. Misalnya Tulungagung, Pasuruan, Lamongan, dan seminggu yang lalu menyusul Sidoarjo," katanya. Yang agak unik terjadi di Pasuruan. Seperti diceritakan Yusuf Hasyim, sebuah panitia mengajukan permintaan izin ke pihak Kepolisian. Kepolisian bilang "Lho, tak usah minta izin lagi, Pak. Ke Kanwil Depag saja." Lantas mereka pergi ke Kanwil. Sampai di sana, justru pejabat di situ tak berani memberi penegasan -- karena belum ada "petunjuk pelaksanaan." Walhasil mereka menyuruh panitia kembali ke Kepolisian lagi. Pihak Kepolisian terpaksa memberi keterangan tertulis bukan izin, melainkan pemberitahuan bahwa mereka tak perlu minta izin. Barulah Kantor Departemen Agama berani bertindak. Begitulah gambarannya. Sehingga tak heran bila Kyai Adlan dari Tebuireng sendiri, belum pernah mempraktekkan tak pakai izin. "Soalnya sudah terbiasa minta izin sih," katanya. Demikian juga Habib Al Attas dari Bondowoso. Tetap minta izin, "supaya afdol". Itulah sebabnya mengapa Datuk Palimo Kayo, Ketua Majlis Ulama Sumatera Barat, mengatakan bahwa pengertian baru tentang izin itu masih terbatas hanya di tingkat atas. "Mereka yang di daerah belum dapat instruksi," katanya. Contohnya drs. Husni Waluyo, Kepala Kantor Depag Madiun. Tanggal 31 Juli ia masih berkata "Masih belum ada perubahan. Sebab belum ada pedoman dari Menteri Agama tentang kebebasan da'wah itu." Toh masih ada lagi masalah "penafsiran". Seperti di Pekalongan. Da'wahnya sendiri memang tak perlu pakai izin polisi atau Kodim sekarang. "Tapi berkumpulnya orang-orang itu yang jadi masalah," kata Muhibin Lettu yang bertugas sebagai Kepala Bagian PKN Kores 921. Lalu kebebasan izin itu sekarang diimbangi dengan keharusan lain tiap penanggung jawab keramaian harus datang sendiri (tak bisa diwakili seperti sebelumnya) untuk mengurusnya ke kantor polisi. Ini ternyata cukup merepotkan si penanggung jawab biasanya kan orang tua atau sesepuh yang tentunya banyak kerepotan -- dan biasanya agak keder menghadapi urusan-urusan ke kepolisian. Ini lalu bisa meninggalkan persangkaan, seolah-olah untuk "daerah-daerah Islam" tertentu rupanya perizinan masih dianggap lebih perlu diperhitungkan dibanding misalnya daerah "netral" atau di mana umat muslimin minoritas. Contoh daerah mayoritas Islam seperti Aceh, Padang atau Jawa Timur, barangkali lalu bisa dibandingkan dengan daerah mayoritas Kristen seperti di Sulawesi Utara. Di Manado, yang umat Islamnya terhitung 45%, "dari dulu kami bebas dalam da'wah," menurut pengakuan Muballigh Hadi Adam. Sebaliknya ia sendiri heran mendengar bahwa justru di Gorontalo, yang mayoritas Islam, banyak terdapat ketidaksesuaian antara keinginan pihak panitia da'wah dengan kebijaksanaan penguasa. Apakah karena di sana mayoritas da'i berorientasi pada PPP melulu? Hadi Adam (yang Golkar) hanya menjawab: "Yah, di daerah itu rupanya banyak masalah yang dihadapi umat." Kadang-kadang memang dibutuhkan juga pengarahan terorganisir dari sesuatu induk organisasi da'wah. Khususnya dalam hal topik-topik yang diharapkan lebih produktif dan sesedikit mungkin menimbulkan salah faham -- meskipun tema nahi munkar (melawan kejahatan) tetap dituntut untuk diberikan, dengan cara yang lebih bijak. Majlis Ulama di beberapa daerah misalnya ada memberikan pedoman tema-tema. Seperti dituturkan Ketua MU Jawa Barat, E.Z. Muttaqien, di sana ada semacam kurikulum. Bulan puasa ini misalnya diseyogiakan para da'i menggairahkan umat dalam hal fitrah, zakat harta dan shadaqah -- untuk Juli dan Agustus. Menghadapi masa baru (kalau boleh disebut begitu) dalam da'wah ini, Rusyad Nurdin, Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Jawa Barat, sebaliknya akan mencetak kader da'wah. "Khusus untuk para wanita, sebab itulah yang kurang. Kita laksanakan selesai lebaran," katanya. Sedang di Jawa Timur Yusuf Hasyim menyatakan pula akan mengadakan penataran serupa agar da'wah lebih jernih dan lebih mendidik. Yusuf memberi contoh salah satunya: "Misalnya bagaimana umat Islam di desa memahami cara memperoleh kredit. Bagaimana prosedurnya. Jiwa kepengusahaan umat Islam (kewiraswastaan) harus dibangkitkan. Dengan demikian secara langsung dapat meningkatkan kemampuan rakyat kecil." Ini tentulah hanya satu contoh dari kemungkinan yang memang banyak diharap orang: lebih banyak dimasukkannya hal-hal yang bersifat kesejahteraan sosial, seperti yang dituntut ajaran agama sendiri, dalam da'wah. Dan topik-topik seperti itu memang topik-topik yang "damai" -- meskipun belum tentu akan selalu menarik. Sudah diketahui bahwa titik berat da'wah selama ini, kalau tidak pada masalah akhlak, keimanan atau ibadat, adalah soal-soal umum yang "hangat". Syamsul Mu'arif, da'i jebolan IAIN Banjarmasin mengatakan bahwa itulah dua topik yang dilihatnya "laku" -- yang jenis pertama di kampung-kampung, jenis kedua di kota. Oleh situasi lingkungan yang memang riil, para da'i sendiri kemudian cenderung lebih mudah melihat hal-hal yang patut "ditelanjangi" -- dan secara tak terasa terlatih sendirinya untuk menjadi "penghantam" -- lebih dari melihat apa lagi sebenarnya yang diperlukan dan belum ada. Sebab topik-topik "panas", di kota-kota, memang kira-kira sama larisnya dengan kemampuan humor seorang penceramah. Dan kalaupun tema lain termasuk dalam da'wah, biasanya ia adalah tema 'mau-ilmiah' yang kabur-seperti bisa didapati di sementara masjid di mana banyak berkumpul kalangan muda. Maka bidang amal sosial itupun lalu sepi dari peminat. Kenyataan bahwa proyek-proyek yang disebut "pondok karya" sendiri, yang mengutamakan pemberian bekal kerja dalam asuhan semangat keagamaan masih juga belum begitu populer di kalangan muslimin antara lain menunjukkan bahwa tekanan memang masih lebih pada "suara" -- yang difahami sebagai syi'ar. Bahwa di satu lingkungan terdapat lima buah mushalla dengan lima buah pengeras suara, misalnya, rasanya masih lebih disukai daripada mengusahakan berdirinya 10 langgar tanpa mikrofon. Sebab dengan lima pengeras suara, orang merasa "Islam sudah benar-benar "tertancap". "Memang, mushalla tanpa pengeras suara dirasakan sudah kuno," H. Ghazali Hasan di Medan. Bahkan di Tomohon yang disebut "benteng Kristen" (di sini berpusat banyak gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen), dan hanya ada ratusan umat Islam di bawah mubalig seperti Ahmad Gasim, pengeras suara sebagai syi'ar tentu saja tak dilupakan. Kota Manado sendiri setiap dinihari dibangunkan oleh pengeras dari 37 mesjid yang bertebar di seluruh pelosoknya. Sampai-sampai kata Mubaligh Adam, para tetangga keturunan Cina yang beribadat di kelenteng, 70 meter dari mesjid "sudah hafal bunyi isi suara itu." Mereka tidak terganggu? "Ah, mereka memanfaatkan pengeras suara kita untuk bangun pagi dan berolah-raga!" Memang semustinya: azan dari masjid memakai mikrofon. Atau sebuah majlis ta'lim yang memang menujukan tablighnya ke lapangan dengan ribuan pengunjung. Toh gangguan pengeras suara -- justru dari masjid atau mushalla -- yang tidak terkontrol, menyebabkan orang-orang di Banjarmasin berfikir lebih baiklah bila ada penertiban. Di Bandung KH Z. Muttaqien juga menyinggung alat elektronik yang digunakan tak selayaknya itu -- di samping di kota itu sendiri kabarnya soal tersebut sudah mulai tertib. Juga di Jakarta (lihat box). Yang dikehendaki semua orang tentunya: bagaimana da'wah akah bisa menjadi lebih intens lagi, lebih produktif dan ramah -- tanpa kehilangan kewibawaannya dan hanya menjadi, misalnya, saluran titipan. http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1978/08/12/AG/mbm.19780812.AG72499.id.html 29/XI 19 September 1981 Send this article Email : Dago, Tanpa Sebatang Pohon Pun Bandung terancam kering, hutan Dago sebagai sumber air tergusur pemukiman, antara lain pemukiman untuk perumahan dosen ITB. (kt) BANDUNG dilanda dua kesulitan sekaligus. Pertama, kekurangan air bersih yang sudah mulai dirasakan sejak awal bulan ini. Kedua, berbagai protes terhadap penebangan hutan di bukit-bukit Dago yang sejak dulu diandalkan sebagai sumber air minum bagi 1,5 juta jiwa penduduk kota itu. Maka segera timbul heboh. Sebagian penduduk segera melontarkan protes. Mereka tidak setuju hutan Dago di Bandung Utara itu dilenyapkan untuk dijadikan pemukiman, terlebih lagi untuk perumahan dosen ITB. Sebab tak mustahil pihak lain akan beramai-ramai mengikuti jejak lembaga perguruan tinggi yang tersohor itu. Belum lagi kekhawatiran soal itu reda, persediaan air di kota ini telah menyusut dengan cepat. Hujan tidak turun sejak dua pekan berselang, hingga air sumur di beberapa pemukiman berubah menjadi kuning dan sedikit bau. Bahkan sudah banyak sumur yang kering. Penyusutan serupa juga terjadi pada bak penampungan PD Air Minum Kodya Bandung. Debit air yang biasanya 2 m, kini tinggal 1,75 m. Dir-Ut PDAM Bandung, Ir. Eddy Kurniadi, mengakui keadaan air di Bandung cukup mencemaskan. "Penurunan air cukup drastis," ujarnya. Tapi tak dijelaskan usaha-usaha menanggulanginya. Dibeli Orang Jakarta Dalam Lokakarya Dasawarsa Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan awal bulan ini di Bali, Asisten Menteri PPLH, Ir. Rachmat Wiriadinata, memang telah menyinggung persoalan yang sedang dihadapi Kota Bandung ini. Menurut Rachmat, pemanfaatan tanah di Bandung Utara memberi kesan gundulnya kawasan itu karena belum dipolakan dengan baik. Namun tambahnya pula, dilarangnya pengembangan pemukiman di sana tidak akan menyelesaikan persoalan. Sebaliknya diisyaratkan, Bandung Utara sebagai sumber air kemungkinan besar bisa diselamatkan, jika saja wilayah pemukiman ditingkatkan. Artinya, luas lahan dan luas bangunan diatur sedemikian rupa, hingga sumber air terpelihara. Bisa jadi, bertolak dari pemikiran seperti itu, maka penggundulan bukit Pasirmuncang (bagian dari Dago) di Bandung Utara itu, berlangsung terus meskiprotes dari kanan kiri datang bertubi-tubi. Hari-hari pekan lalu, misalnya, dua buldozer menderu-deru di kawasan itu, merapikan tanah untuk perumahan dosen ITB seluas 15 hektar. Kini puncak bukit itu sudah rata: tandus, tanpa sebatang pohon pun tersisa. "Sejak ada proyek itu, udara di sini memang agak panas,"-kata Sunarya, 50 tahun, seorang penduduk yang berdiam di kaki bukit. Sebenarnya sebagian besar bukit di kawasan Dago sudah terancam gundul. Satu kilometer dari kompleks dosen ITB itu, juga sedang dibangun kampus Universitas Islam Bandung di atas tanah seluas 10 hektar. Begitu pula, tiga kilometer dari Taman Makam Pahlawan Cikutra nampak berdiri rumah murah yangdibangun dengan fasilitas BTN. Belum lagi kegiatan penduduk membangun proyek rumah mewah di sana. "Tanah di sini sudah dibeli orang Bandung dan Jakarta," ucap Endang, 38 tahun, ayah dua anak yang bermukim di Kampung Pasirmuncang. Menurut Endang, dia sendiri telah nlenjual tanah miliknya 4 hektar. "Dulu saya menawarkan Rp 3000 pertumbal (10 m2), tak ada yang mau beli," kata Endang polos. "Sekarang malah berebutan," katanya heran. Ia tidak menycbutkan berapa persis harga tanah di situ. Pembangunan pemukiman yang menggebu-gebu di sana, rupanya sulit dicegah, meskipun Direktorat PPA Jawa Barat, misalnya, menghendaki agar hutan seluas 12.000 hektar, dari Tangkubanperahu ke Gunung Manglayang (yang melewati kawasan Dago), dijadikan cagar alam dan hutan wisata. Bahkan Menteri Pertanian pada Juni 1980 menetapkan hutan seluas 590 hektar di Dago Pakar, sekitar proyek ITB dan Unisba itu, sebagai taman wisata yang pada 1965, tatkala Mashudi masih menjadi Gubernur Ja-Bar, Dago Pakar diresmikan sebagai "Kebun Raya Ir. Haji Juanda". Tentu saja apa yang terjadi dewasa ini di sana membuat banyak warga Bandung yang kecewa. Lebih-lebih mereka yang mengenal riwayat bukit itu tempo dulu. "Memang proyek-proyek di sana tidak langsung merusak Taman Wisata," kata sumber TEM PO di PPA yang tidak mau disebut namanya. Hanya saja, yang lebih mencemaskan, pembangunan pemukiman yang sekarang akan segera memancing terbangunnya pemukiman baru yang lain. "Akhirnya dalam jangka panjang merusak lingkungan juga," ujar sumber itu. Proyek perumahan dosen ITB itu, menurut Rektor ITB Dr. Hariadi Supangkat, sudah direncanakan sejak 5 tahun lalu. Kesulitan perumahan baik bagi tenaga pengajar maupun karyawan telah mendorong pembangunan perumahan, yang menurut Hariadi toh tidak dilakukan secara sembarangan. Artinya ITB sudah memperhitungkan, pembangunan pemukiman semacam itu tidak sampai merusak lingkungan. "Memang ada yang mengatakan, bila kawasan itu dibangun, Bandung bisa kekeringan," ujar Supangkat. "Bila pendapat itu sepenuhnya benar, tentu kami tidak akan membangun perumahan di sini," ujar Rektor ITB itu lagi, tanpa menegaskan pendapat mana yang 100% benar. Simpang Siur E.Z. Muttaqien, Kektor Unisba mengemukakan hal yang sama. "Kami ini lembaga perguruan tinggi, karena itu Unisba tidak akan sembarang berbuat," cetusnya memastikan. Tapi dalam pada itu Ketua Bappeda Ja-Bar Ateng Syafruddin berpendapat, selama belum ada penelitian tuntas, sebaiknya kawasan itu jangan dulu dibangun." Kalaupun dibangun, yang diizinkan hanya 30% dari seluruh areal di sana. Karena itu, beberapa waktu yang lalu, Menteri PPLH Emil Salim pernah berpesan, agar sebelum membangun di situ hendaklah berkonsultasi dulu dengan Bappeda. "Tapi sejauh ini belum ada yang minta saran," kata Syafruddin, "ada juga perusahaan real-estate, tapi permohonannya kami tolak." Suara pro dan kontra masih simpang siur, bahkan sampai Menmud Cosmas Batubara pekan lalu berkunjung ke sana. Tanpa menuding siapa pun Cosmas mengingatkan, "kita tidak bisa membiarkan Kota Bandung kehabisan air." Karena itu dia mendukung usaha penertiban terhadap bukit-bukit di utara Bandung--tapi penertiban yang diarahkan. "Kita tentu tidak mungkin membongkar bangunan yang sudah ada, sebab pemerintah tentu tak cukup dana. Tapi dengan cara toleransi itu saya kira akan ditemukan jalan keluar," kata Cosmas yang juga menjanjikan bantuan Pemerintah Pusat kepada Pemda untuk penertiban itu. Tentang kelangkaan air akhir-akhir ini, menurut Wagub Ja-Bar, Suhud Warnaen, PDAM lewat konsultannya telah meneliti keadaan tanah di sana: berapa persen peresapan air, bagian mana yang boleh dibahgun dan yang mana musti dihutankan. Hasil penelitian rupanya belum diumumkan. "Kalau ternyata bangunan-bangunan di sana mengganggu jalur air dalam tanah, apa salahnya kita tinjau lagi. Yang penting mencari modus agar daerah itu bisa dibangun tanpa merusak kelestarian alam," ujar Wagub tanpa menyinggung kesulitan air yang kini mengancam penduduk Bandung. http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/1981/09/19/KT/mbm.19810919.KT51333.id.html 30/XV 21 September 1985 Print Mendapat hadiah pengabdian Almarhum k.h. e.z. muttaqien mendapat hadiah pengabdian dari departemen p dan k. (alb) DEPARTEMEN P dan K kembali menganugerahkan Hadiah Seni. Untuk tahun ini, mereka yang berhak adalah Maladi dan Leonard Eduard Pah (seni musik). Ida Bagus Made Widja (seni rupa tradisional). Abdul Djalil Pirouz (seni rupa kontemporer), Almarhum Rd. Memed Sastrahadiprawira (sastra daerah). Almarhum I Ketut Rinda (seni tari). Almarhum R Ng. Prodjopangrawit (seni karawitan), Sujarno Hatmo Gunardo dan Aliwidjaja (seni pedalangan). Selain itu, juga diberikan Hadiah Pengabdian untuk Almarhum KH. E.Z. Muttaqien, ulama dan pendiri Universitas Islam Bandung dan Hadiah Pendidikan kepada Prof. Ir. RM. Moeso Suryowinoto. yang dinilai berjasa di bidang penelitian dan pengembangan anggrek. Pemberian hadiah-hadiah itu dilakukan oleh Menteri P dan K Fuad Hassan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Sabtu pagi lalu. http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1985/09/21/ALB/mbm.19850921.ALB37309.id.html 44/XVI 27 Desember 1986 Print Pengangkatan rektor Letjen (purn) achmad tirtosudiro, 64, diangkat menjadi rektor unisba. pendiri hmi dan ikut mendirikan seskoad di bandung. jabatan terakhirnya sebagai duta besar untuk tiga negara timur tengah. (alb) * BEKAS duta besar untuk Arab Saudi, Republil Arab Yaman, dan Kesultanan Oman, Letjer (pur,) Achmad Tirtosudiro. Sabtu dua pekan lalu, menempati posnya yang baru. Tapi, kali ini, ia tak lagi menjadi utusan pemerintah Achmad Tirtosudiro, 64, dipercaya menjadi Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba) menggantikan Kiai E.Z. Muttaqien yang meninggal dunia April t985. Dunia pendidikan bagi Achmad Tirtosudiro bukan dunia yang baru. Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini ikut mendirikan Seskoad di Bandung. Di awal Orde Baru Achmad Tirtosudiro dipercaya menjabat Kabulog, dan kemudian menjadi anggota MPR pada 1972. Selanjutnya, ayah tujuh anak kelahiran Purwakarta ini bertugas sebagai duta besar di Jerman Barat, lalu menjadi dirjen pariwisata (1977-1982) dan terakhir sebagai duta besa untuk tiga negara Timur. Ia kembali ke tanah air tahun lalu. http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1986/12/27/ALB/mbm.19861227.ALB36553.id.html 44/XVI 27 Desember 1986 English Edition | Tempo Interaktif | Koran Tempo | PDAT | Photostock | U-Mag | Ruang Baca | Blog | Jurnalisme Publik | iTempo | Video | Audio | Infografis | Arsip * Halaman utama * Ekonomi o Ekonomi dan Bisnis * Gaya Hidup o Olahraga o Kesehatan * Hukum o Kriminalitas o Hukum * Internasional o Luar Negeri * Nasional o Nasional * Opini o Catatan Pinggir o Kolom * Prelude o Album o Pariwara o Surat Dari Redaksi * Sains o Ilmu dan Teknologi o Buku o Pendidikan o Lingkungan o Agama * Selingan o Selingan o Indonesiana * Tokoh o Pokok dan Tokoh o Obituari Album * * * * o Digg o Google Bookmarks o Yahoo! My Web o del.icio.us o StumbleUpon o Facebook Pengangkatan rektor Letjen (purn) achmad tirtosudiro, 64, diangkat menjadi rektor unisba. pendiri hmi dan ikut mendirikan seskoad di bandung. jabatan terakhirnya sebagai duta besar untuk tiga negara timur tengah. (alb) * BEKAS duta besar untuk Arab Saudi, Republil Arab Yaman, dan Kesultanan Oman, Letjer (pur,) Achmad Tirtosudiro. Sabtu dua pekan lalu, menempati posnya yang baru. Tapi, kali ini, ia tak lagi menjadi utusan pemerintah Achmad Tirtosudiro, 64, dipercaya menjadi Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba) menggantikan Kiai E.Z. Muttaqien yang meninggal dunia April t985. Dunia pendidikan bagi Achmad Tirtosudiro bukan dunia yang baru. Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini ikut mendirikan Seskoad di Bandung. Di awal Orde Baru Achmad Tirtosudiro dipercaya menjabat Kabulog, dan kemudian menjadi anggota MPR pada 1972. Selanjutnya, ayah tujuh anak kelahiran Purwakarta ini bertugas sebagai duta besar di Jerman Barat, lalu menjadi dirjen pariwisata (1977-1982) dan terakhir sebagai duta besa untuk tiga negara Timur. Ia kembali ke tanah air tahun lalu. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1986/12/27/ALB/mbm.19861227.ALB36553.id.html 35/VI 30 Oktober 1976 Print Tidak jadi ada gerhana ? Kh.e.z. muttaqien, rektor unisa, berkhotbah tentang gerhana matahari sebagai peringatan tuhan. kota-kota yang mengalami gerhana matahari total yaitu dares salam danmelbourne. indonesia akan mengalami th 1983. (ilm) AULA Universitas Islam Bandung (Unisba), sejak jam 10 Sabtu lalu sudah penuh manusia. Jam 10.20, berlangsunglah sembahyang khusuf, bertepatan dengan gerhana matahari yang sudah mulai sejak jam 10 -- meski belum terlihat oleh mata manusia di pulau Jawa. Mungkin sembahyang di Unisba itu yang paling pagi. Sebab untungnya mesjid -mesjid di Bandung baru melangsungkan sembahyang khusuf setelah shalat lohor. "Lihatlah contoh Nabi", kata Rektor Unisba, KH E.Z. Muttaqien sebelum shalat khusuf dimulai. "setiap ada gerhana bulan atau gerhana matahari, Rasul selalu bersembahyang, berkhotbah dan bersedekah. Bersedekah apa saja demi keperluan sosial". Dalam khotbahnya sang rektor melihat gerhana matahari itu sebagai peringatan dari Tuhan. "Ada peringatan yang sifatnya kasar, seperti banjir, kebakaran atau sakit badan. Tapi kecuali itu, Allah pun perlu memberi peringatan orang cerdik pandai dengan peringatan halus. Misalnya gerhana". Kira-kira jam 11.40, setelah sembahyang khusuf selesai, baru gerhana matahari itu tampak di Bandung. Di Jakarta, di berbagai mesjid orang bersembahyang khusuf. Tapi sayang, meski sejak jam 10 orang sudah menunggu-nunggu, penduduk ibukota banyak yang kecewa karena tidak menyaksikan gerhana atau tanda-tandanya di sekitarnya. Mungkin hanya para pengamat yang berada di laut seperti yang disiarkan oleh TV-RI, malam harinya -- dapat menyaksikan bagaimana proyeksi bayangan bulan ke bulan memblokir sebagian sinar matahari selama 3 menit. Di atas kota Jakarta sendiri, awan melindungi matahari sejak jam 10. Suhu udara, yang di Melbourne (Australia) diperkirakan akan turun 11ø Celcius. di Jakarta tetap saja bertengger pada 31ø C . Panas dan terang benderang . Padahal tak sedikit orang tua yang malahan anaknya di rumah -- takut buta, bila memandang gerhana. Kota-kota yang lebih beruntung menyaksikan gerhana matahari secara total adalah Dares-Salam, ibukota Tanzania. Dan Melbourne, ke mana para ahli ilmu falak dari seluruh dunia berdatangan. Termasuk Dr Bambang Hidayat dari peneropong bintang Bosscha di Lembang. Jadi kalau dikatakan bahwa gerhana matahari ini berlangsung dari 9.40 WIB sampai 14.50 WIB, itu memang betul. Hanya saja tiap-tiap kota yang dilaluinya hanya kebagian gelap (atau remang-remang) selama maksimal 3 menit mengingat kecepatan bergeraknya bayangan bulan yang di atas 1000 KM/jam itu. Indonesia sendiri baru akan beruntung menyaksikan gerhana matahari total tanggal 11 Juni 1983. Itupun hanya daerah-daerah di selatan katulistiwa, dan dimulai dari Jawa Tengah sampai bagian selatanl Irian Jaya (Merauke). http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1976/10/30/ILT/mbm.19761030.ILT70425.id.html