OPERA KECOA

(Trilogi bagian dua Bom Waktu)


oleh N. RIANTIARNO


PARA PELAKU:

1. ROIMA

2. JULINI

3. TARSIH

4. TUMINAH

5. PEJABAT

6. TAMU ASING

7. TUKANG SULAP

8. KUMIS

9. TIBAL

10. BLEKI

11. ASNAH

12.KASIJAH

13.PETUGAS

15.SATPAM-1

16.SATPAM-2

17.ORANG-1

18. ORANG-2

19. PELACUR-1

20. PELACUR-2

21. PELACUR-3

22. PELACUR-4

25. PELACUR-5

26. BANCI-1

27. BANCI-2

28. BANCI-3

29. BANCI-4

30. BANCI-5

31. PATUNG PANCORAN, LAPANGAN BANTENG, SENAYAN, HOTEL INDONESIA, DAN PAKTANI MENTENG RENTENIR

32. WARTAWAN-WARTAWAN, BANDIT-BANDIT, ORANG-ORANG DSB.



(mereka bertiimpitan di gorong-gocong

dan kolong jembatan

sementara yang lain main golf

mereka merindukan rumputan

sementars yang lain berkelimpahan

mereka cuma kecoa

sementara yang lain, garuda)


SATU

SEGALANYA NAMPAK MERAH, TANAH, GUBUK-GUBUK, GOT, GEDUNG, LANGIT, AWAN, MATAHARI,BAHKAN GERIMIS YANG KEMUDIAN TURUN.

BUMI TIBA-TIBA GEMETAR, BERGELOMBANG.

NYANYIAN DARI DALAM BUMI. SAMAR-SAMAR TERDENGAR. KADANG BAGAI GAUNG KADANG BAGAI SEJUTA KALENG YANG JATUH BERUNTUN. SEJUTA KALENG KOSONG JATUH BERUNTUN. BUNYINYA MENUSUK TELINGA.

BUMI MAKIN GEMETAR. GUNDUKAN2 TANAH BER-PINDAH2 TEMPAT BAGAI PUNYA NYAWA. GUNDUKAN2 ITU MENARI DENGAN GERAKAN-GERAKAN GILA.

DAN NYANYIAN MAKIN LAMA MAKIN NYARING. BUMI BERKERUT-MERUT.

KILAT, KEMUDIAN GELUDUK.

ASAP, GARIS-GARIS CAHAYA YANG TEGAS. SUMBER CAHAYA BUKAN DARI MATAHARI. DAN NYANYIAN MAKIN NYARING. BUNYI RENTETAN TEMBAKAN, JERITAN MENYAYAT. LALU SEPI. TANGISAN.

NYANYIAN BERGEMA LAGI.


DUA

ROIMA MUNCUL MENGGOTONG MAYAT JULINI TERBUNGKUS KAIN PUTIH.

ROIMA: Dia hanya ingin hidup, dia tak pernah mengganggu orang, tak pernah memaksa. Apa yang selama ini dia lakukan hanyalah upaya agar dia tidak kelaparan. Coba tunjukkan cara lain untuk bisa memperoleh penghasilan. Coba tunjukkan, tunjukkan. Tak pernah ada jawaban. Yang ada hanya pidato, pidato dan pidato. Apa hanya dengan pidato-pidato saja dia. kami. bisa kenyang? Dia bekerja, banting tulang memeras keringat. Kemudian dia dapat uang. Dia memang cabo, itu karena dia tidak mungkin jadi sekretaris. Keahliannya cuma memijat. Dia memang cabo, tapi bukan berarti dia tidak ingin jadi direktris. Nasib melemparkan dia ke dalam got, dan sampai tua dia akan tetap ada di dalam got, berhimpitan dengan kutu dan kecoa. Kami orang-orang kecil. Masalah kami hanya masalah perut. Tapi mengapa dia yang harus ditembak mati?

Dia memang cabo, tapi banyak orang membutuhkannya. Tapi dia yang kemudian dikejar-kejar, bukan mereka, bukan orang-orang yang datang. Jika ada jalan untuk jadi baik, kami akan ikuti jalan itu. Asal jangan jalan yang penuh pelor dan bedil.


BUMI BERGETAR. MENGGELETAR. SELAPUT BUMI YANG BERWARNA MERAH, TERKELUPAS DENGAN HEBAT. ROIMA DAN JULINI TERSERET HINGGA KE BANGKU-BANGKU PLAZA MONUMEN.


KEMUDIAN TERPAMPANGLAH PEMANDANGAN, DUA PEMANDANGAN, YANG KONTRAS.

SATU, KOTA YANG SEPI DAN LENGANG PENUH BANGUNAN-BANGUNAN MONUMEN. ADA PANGGUNG DENGAN SPANDUK BERTULISKAN ‘TOPI BAJA CLUB BAND', MEMANG SEBUAH BAND YANG PERSONILNYA SUDAH SIAP MENGHIBUR SIAPA SAJA. SEGALA MACAM MONUMEN ADA DiSITU: 'MONUMEN KASIH SAYANG', 'MONUMEN BECAK', 'MONUMEN PAHLAWAN:, 'MONUMEN CLURIT', 'MONUMEN SADO’, PENDEKNYA SEGALA MONUMEN.

DUA, SEBUAH LUBANG DENGAN RUMAH-RUMAH --LEBIH TEPAT KALAU DISEBUT KANDANG-KANDANG-- SALING HIMPIT. ATAPNYA RENDAH-RENDAH. GOT, JEMBATAN REYOT, WC UMUM DAN POS HANSIP. HANYA ADA SEPETAK TANAH KOSONG TEMPAT ANAK-ANAK BERMAIN KELERENG. IBU-IBU DI DEPAN RUMAH MEREKA SALING CARI KUTU. KOMPLEKS YANG SEMPIT ITU MASIH DIBAGI DUA: KOMPLEKS RUMAH TANGGA BAIK-BAIK DAN KOMPLEKS PELACURAN. KEGIATAN SEHARI-HARI DI KOMPLEKS INI MULAI BERJALAN.


LAMPU BERUBAH.


TIGA

DI BANGKU-BANGKU PLAZA MONUMEN

JULINI BANGUN TIDUR, ROIMA MASIH NGOROK.


JULINI: Sudah siang. Kang, bangun, bangun. Kita pergi sekarang sebelum diusir satpam. Kang. (MENCUBIT ROIMA).

ROIMA: Aduh. Apa sih?

JULINI: Sudah siang. Mau ngorok sampai jam berapa? Memangnya ini hotel? (BERKEMAS-KEMAS).

ROIMA: Sudah siang? Masa?

JULINI: Idiih, dibilangi. Ke mana?

ROIMA: Kencing dulu. (KE MONUMEN, KENCING DI SITU)

JULINI: Kok di situ?

ROIMA: Di mana lagi?

JULINI: Sudah? Kita pergi?

ROIMA: Tunggu. Kalau tidak salah, gubuk kita dulu ada di sini. Di situ ada kali, jembatan dan di sana gubuk Tarsih. Gubuk Djumini dan Turkana di mana ya?

JULINI: Di sini, ‘kali. (SAMBIL MEMULAS BIBIRNYA DENGAN LIPSTIK)

ROIMA: Ditinggal pergi lima tahun, bisa jadi begini. Luar biasa. Ke mana mereka semua sekarang?

JULINI: Sudah pada mati, 'kali.

ROIMA: Sembarangan.

JULINI: Ya, orang tidak tahu ditanya. Saya sudah nggak inget lagi.

ROIMA Terang, yang diinget cuma Tibal.

JULINI: Idiih, cemburu. Tibal sudah lewat. Yang ada sekarang cuma abang. Only abang, forever.

(DUA SATPAM MUNCUL Dl KEJAUHAN, LANGSUNG MEMBUNYIKAN PELUITNYA)

JULINI: Tuh, tuh, apa kata Julini. Satpam. Sudah dibilangi supaya pergi dari tadi, malah mogok. Ayo.

(MEREKA PERGI. BERLARI. ANEHNYA PELUIT MALAH SEMAKIN BANYAK, MAKIN BANYAK DAN MAKIN BANYAK).


EMPAT

PARADOS.

SELURUH PENGHUNI PERKAMPUNGAN KUMUH MUNCUL DARI RIOL-RIOL, DARI KOLONG-KOLONG JEMBATAN, DARI LUBANG-LUBANG GOT, BAGAI KECOA-KECOA. SEAKAN DISATUKAN OLEH SANG NASIB MEREKA MENYANYI.

DUA SATPAM, MENJAGA KEAMANAN DENGAN M-ATA SELALU BERCURIGA.

MEREKA HANYA MEMPERHATIKAN APA YAN.G TERJADI Dl BAWAH.

SEDANGKAN PESTA ITU, MEMANG PESTA HANYA BAGI MEREKA YANG MERASA DIRINYA KECOA. HANYA BAGI MEREKA YANG TAK PERNAH LAGi BERMIMPI UNTUK BISA TIDUR Dl ISTANA ATAU VILA-VILA. HANYA BAGI MEREKA YANG CUMA MERINDUKAN CUKUP MAKAN. CUKUP PAKAIAN. RUMAH? HA HA HA HA..

MEREKA BER.NYANYI. LAGUNYA !JULA-JULI KECOA MABUK'.


JULA-JULI KECOA MABUK


NGUMPET Dl GORONG-GORONG

MAKAN TiDUR Dl DALAM GOT

MERANGKAK-RANGKAK DALAM GELAP

DALAM GELAP YA SAYANG. Di DALAM GELAP .


MABUK, YA MABUK, YA MABUK

MABUK PUSING 'HADAPI HIDUP


(SEKELOMPOK ORANG KAYA, BERBARIS MUNCUL SAMBIL MENYANYI)

SIAPA SURUH DATANG KE JAKARTA

HANYA BIKIN SAMPAH, JADI SAMPAH

KERJA KERAS MAUPUN USAHA

HANYA JALAN JIKA ADA KESEMPATAN


MABUK, YA MABUK, YA MABUK

MABUK PUSING 'HADAPI HIDUP


SETIAP HARI MENGINTIP

KAPAN BISA MENERKAM KESEMPATAN

SETIAP KALI DILEMPAR KEMBALI

KE DALAM GOT, YA SAYANG, KE DALAM GOT


MABUK,YA MABUK, YA MABUK

MABUK PUSING 'HADAPi HIDUP


BESAR, PERUT ORANG BESAR

KECIL, PERUT ORANG KECIL

BESAR, BAGIAN ORANG BESAR

KECIL BAGIAN ORANG KECIL


MABUK,YA MABUK, YA MABUK

MABUK PUSING 'HADAPi HIDUP


BAU TENGIK COMBERAN

NANAH, KUDIS. PANU, DAN KURAP

BAGIAN PASTI NASIB KITA

NASIB KITA, YA SAYANG, NASIB KITA


MABUK, YA MABUK, YA MABUK

MABUK PUSING 'HADAPI HIDUP


(DAN SETELAH MENYANYI MEREKA PUN KEMBALI BEKERJA)


(TEMPAT PELACURAN. MALAM SUDAH LARUT. SEPI. TARSIH NAMPAK SEDANG BERTENGKAR DENGAN PETUGAS YANG DIKAWAL OLEH DUA SATPAM. BODIGAR, DIAM KETAKUTAN)


TARSIH: Rumah ini rumah saya. Saya punya sertifikatnya. Mengapa harus digusur juga?

PETUGAS: Begini, Bu, tenang dulu. Keindahan dan ketertiban adalah prioritas utama bagi dinas tata kota. Bukan digusur, jangan salah: dilokalisir. Ibu akan dapat penggantian, percayalah.

TARSIH: Ho ho ho, percaya.

PETUGAS: Lho, iya. Coba lihat saja, kompleks pelacuran, eh maaf, kompleks wts ini terletak di tengah-tengah kampung, Di sana ada mesjid, di sana gereja. Biar mereka belum protes tapi kami dari dinas tata kota dan dinas sosial. memperhatikan. Ini kompleks harus dipindahkan.

TARSIH: Ini sudah di pinggir kota.

PETUGAS: Kota kita berkembang sangat pesat. Mulanya dipinggir, ya, beberapa tahun kemudian, sementara kita lupa, tahu-tahu sudah ada di tengah-tengah. Kita tidak ingin timbulnya ekses-ekses negatip di kelak kemudian hari jika kompleks. ini tetap dipertahankan.

TARSIH: Sudah lima tahun rumen ini berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. Selama itu tidak pernah ada masalah. Malah kompleks ini boleh dibilang bisa menyediakan lapangan kerja bagi sebagian dari mereka. Dan langganan kami tidak ada yang asalnya dari kampung ini, semuanya dari tempat-tempat yang jauh.

PETUGAS: Pendeknya bu. kami hanya bertugas untuk mengingatkan. Waktunya masih lama, tapi sebaiknya ibu siap-siap dari mulai sekarang. Permisi..

TARSIH: Saya tidak akan menyerah. Saya akan tetap bertahan di sini. Ini hak milik saya, siapa pun tidak boleh mengganggu-gugat. Pergi.

PETUGAS: Jangan marah pada saya. Saya cuma petugas. Permisi (PERGI).

TARSIH: Setan. (PADA BODIGAR) Dan kamu diam saja. Mustinya tadi kau usir mereka. Kumis saja dipelihara segede jempol, nyali segede kutu anjing.

BODIGAR: Satpamnya bawa borgol.

TARSIH: Gentong nasi. Lain kali usir mereka yang datang bukan untuk ngeteng.

TUMINAH: (KELUAR BERSAMA TAMUNYA) Jangan takut pak.

PEJABAT: Mas.. (TAMU ITU TERNYATA ORANG PENTING JUGA)

TUMINAH: Iya, mas, jangan takut. Itu tadi cuma latihan lenong.

PEJABAT: Mas kira ada razia, hampir copot jantung mas. Tuminah, besok aku datang lagi, ya? Di rumah aku dapat kiriman kondom dari Perancis, bisa kita coba enak apa tidak dibanding kondom bikinan Tangerang.

TUMINAH: Pergilah mas, sudah subuh.

PEJABAT: Iya. Tuminah..

TUMINAH: Ya, mas?

PEJABAT: Besok kamu akan pakai gaya apa?

TUMINAH: Gaya bebas, mas.

PEJABAT: Jangan terlalu bebas, Tuminah. Sebaiknya kamu pakai lagi gaya kodok-ngorek. Mas suka, cocok untuk orang setua mas.

TUMINAH: Ya deh. kodok-ngorek. pergilah.

PEJABAT: Ya. Tuminah....

TUMINAH: Ya.. mas.

PEJABAT: Kamu luar biasa. Besok mas booking kamu dari jam tujuh.

TUMINAH: Ya.

PEJABAT: Mas pergi.. (MENYANYI)


DUA BEDIL DUA BEDIL

SATU DI TANGAN

LAINNYA DI SELANGKANGAN

PARA PAHLAWAN MAJU PERANG

DOR YANG SATU

YANG LAIN JUGA DOR

SATU BAU MESIU

YANG LAINNYA BIKIN BASAH KOLOR


DUA BEDIL, DUA BEDIL..


TUMINAH: (MENDEKATI TARSIH) Gawat mbak Tarsih?

TARSIH: Habis tamu kamu?

TUMINAH: Itu tadi yang terakhir. Dia itu (BISIK-BISIK) orang penting.

TARSIH: Kita bakal digusur. Tinggal tunggu waktu.

BODIGAR: Dilokalisir, kata mereka.

TARSIH: Minggat kamu. Jaga di bawah sana.

BODIGAR: Ya, ya..(PERGI)

TUMINAH: Lagi-lagi digusur. Lalu kita harus ke mana?

TARSIH: Aku tidak mau ini jadi bahan omongan, aku tidak mau dengar lagi. Segala usaha akan kita jalankan asal kita tetap di sini. Kalau perlu kita mengadu ke DPR, kita mengadu ke Menteri. Mulai sekarang kita harus bekerja lebih giat Iagi. Kumpulkan uang sebanyak mungkin, sebab masa depan kelihatannya bakal lebih berat lagi.

TUMINAH: Selalu lebih berat lagi. Selalu.

TARSIH: Aku tidak ingin hasil keringatku ini dirampas begitu saja. Sudah cukup aku jadi cabo comberan, sudah cukup aku ditipu camai sialan itu, sudah cukup aku merasakan kelaparan, sudah cukup aku jadi orang usiran. Ini tempatku dan aku akan mati di sini.

TUMINAH: Siapa tahu mereka petugas gadungan, mbak Tarsih. Masa datang malam-malam begini.

TARSIH: Petugas asli, cap tugasnya asli, surat tugasnya bukan foto copy. Tapi dia memang minta uang. Kuberi, mungkin kurang. Dia minta kamu tadinya, mungkin kesal menunggu. Dan marah-marah.

TUMINAH: Kalau cuma minta aku, tidak soal. Besok dia bisa datang.

TARSIH: Tuminah, kita bicarakan ini besok. Pendeknya kita diberi akal untuk menerobos setiap kesulitan. Kita harus pakai. (MASUK KAMAR, DIIKUTI TUMINAH).


LAMPU BERUBAH. SIANG.

DUA SATPAM MUNCUL BERJAGA-JAGA.


(SEBUAH BENDA BESAR JATUH DARI LANGIT.

O, ITU RUPANYA MONUMEN KB. BENTUKNYA SEPERTI KONDOM.

MONUMEN LAGI).


(NYANYIAN BERHENTI. ORANG-ORANG BENGONG)


ORANG-1: Apaan tuh?

ORANG-2: Batu.

ORANG-1: Batu lagi, batu lagi. Buat apa?

ORANG-2: Batu peringatan, goblok.

ORANG-1: Zaman yang sudah lewat diingat-ingat terus. Yang di depan mata, malah pura-pura dilupakan. KUMAN di seberang gunung tampak, Gajah..


(SATPAM MENDEKAT DENGAN MATA MENGANCAM, MENGAYUN-AYUNKAN PENTUNGNYA)


ORANG-2: Ssstt..

ORANG-1: ..di depan mata (MELIHAT SATPAM).. nampak juga.

SATPAM-1: Bagus.

(DI SUDUT, SEORANG TUKANG SULAP MENGGELAR DAGANGANNYA)

T. SULAP: Bangsa kita adalah bangsa yang religius, bangsa yang selaiu ingat pada sejarah, bangsa yang pandai mengambil hati pahlawan-pahlawan masa lampau, bangsa yang mulia dan luhur cita-citanya, bangsa yang adiluhung kebudayaannya. Oleh sebab itu saudara-saudara, marilah kita bicara tentang kecoa-kecoa, sambil membuktikan keahlian saya dalam ilmu sulap menyulap. Mari, bapak-bapak, ibu-ibu, tante-tante, non-non, oom-oom dan lain sebagainya mari. Ini gambar apa?

SEMUA: Kecoaaaaa..

T. SULAP: Jelasnya ini kecoa mabuk. Kenapa mabuk..

ORANG-1: ... karena minum cap kucing. (ORANG-ORANG TERTAWA).

T. SULAP: Karena obat semprot, saudara-saudara. Ini bukan sulap bukan sihir. Ini nyata. Membeli obat semprot yang manjur, sama dengan tidak membeli obat semprot yang tidak manjur. Betul tidak?

SEMUA: Tidak betul.

T. SULAP: Betul dong. Saudara-saudara, kecoa itu bukan ubi. Jadi tidak mungkin kita pakai sebagai pengganti beras. Kecoa juga bukan belalang. Kecoa tidak bisa kita makan. Sebaliknya, kecoa makan barang-barang persediaan kita. Jadi, kecoa adalah musuh kita. Kita harus membasminya. (MENYANYI)


LALAT, WERENG DAN KECOA

KITA WAJIB MEMBASMINYA

LALAT, WERENG DAN KECOA

MUSUH UMAT MANUSIA

JANGAN BIARKAN KEMBANG BIAK

JANGAN BIARKAN KEMBANG BIAK


Kecoa ada di mana-mana, ibu-ibu bapak-bapak, di seluruh dunia. Coba bayangkan: di Amerika. Di Amerika yang kita sudah sama-sama kenal kampiun segala hal: sanitasinya bagus, demokrasinya berjaian mulus, tetap ada kecoa. Menurut koran, satu orang Amerika berbanding 150 kecoa. Hitung berapa penduduk Amerika. Di negeri kita? Jangan tanya lagi. Di sini, sanitasinya buruk, demokrasinya tidak berjalan mulus, bisa-bisa satu orang penduduk berbanding 1000 kecoa. Masya Allah, kalau penduduk kita cuma 150 juta, ada berapa kecoa di sekitar kita bapak-bapak ibu-ibu? Hitung. 150 miliar. Tuhan Maha Besar. Apa itu harus kita biarkan? Tidak, kita wajib membasminya. Ini tugas kita semua. Untuk itu, saya datang. Saya bersedia menolong kalian. Saya bawa obat semprot pembasmi kecoa..

(ORANG-ORANG BUBAR SATU-SATU)

ORANG-1: Kirain mau bagi-bagi duit. Eh, ceramah kecoa.

T. SULAP: Mas, mas saudara-saudara.. dengar dulu, dengar dulu..

ORANG-2: Duit itu mahal, mas. Daripada untuk beli obat semprot mendingan untuk beli nasi. Kalau soal kecoa saja sih kita sudah biasa. Masuk lubang got situ kalau nggak percaya.

T. SULAP: Tapi saya datang untuk menolong. Saya datang tidak pakai pamrih. Obat saya murah. Gratis juga saya kasih. Saya ini ahli kecoa, saudara-saudara. Saya ahli kecoa.

ORANG-1: PRET. Mampus kamu (PERGI)

(TUKANG SULAP KEKI, MARAH, SEBEL, SEDIH CAMPUR ADUK)

T. SULAP: Setan beteng, goblok, kecoa, siput. buset dsb. sialan ....


LIMA


DARI SEBUAH GUBUK, ADA RIBUT-RlBUT. SESEORANG TERNYATA RENTENIR TERLEMPAR LEWAT PINTU KELUAR. DARI DALAMNYA MUNCUL PEREMPUAN TUA, ASNAH NAMANYA. ASAL PADANG. DIA LANGSUNG MAKI-MAKI DALAM BAHASA IBUNYA.


ASNAH: Indak tau den. Lah den kecekan indak tau, bakareh arang juo. Si Surti tu dulu iyo di siko, kini indak jaleh diden. Aden indak bisa manangguang utang si Surti tu. Waden indak mandenyo, waden indak eteknyo.

RENTENIR: Tapi Surti utang banyak. Ditambah bunganya saya rugi 35 ribu.

ASNAH: Rugi sajuta, rugi surang saelah awak. Dulu iyo tinggal di siko, kini indak jaleh diden.

RENTENIR: Kalau tidak sanggup bayar, biar barangnya saya ambil.

ASNAH: Indak ciek juo barang si Surti di siko. Kama ambiek barang den? Mau ambil barang saya? (MEMBUKA KAINNYA) Ambil. Ambil. Ambieeeeekk..

RENTENIR: Awas, saya akan datang lagi sama polisi.

ASNAH: Baok kaniak upeh-upeh tu. Waden indak salah, Asnah indak takuik.

RENTENIR: Tidak takut, saya bawa bodigar.

ASNAH: Alaaaa, bodigar waangtu gadang sarawa. Sunguiknyo sajo manan gadang malintang. Diagieh paho, tangga lutuiknyo.

RENTENIR: Wooo, paha sudah bau kakus masih dibangga-banggain.

ASNAH: Apo? Apo kecek ang? Kanciang, kalera, buntuik, boco gadang, cipuik, den tanggakan sarawa waang. Pai capek..

RENTENIR: (LARI KELUAR) Awas kamu nanti.

ASNAH: (MASUK GUBUK, MENGGERUNDEL) Rentenir gata, cangok. Keceknyo sia awak Mancaliek paho sajo tabudue incek matonyo..

JULINI: (MEMENCET HIDUNGNYA) Yah, bang. Di sini baunya wangi betul. Belum apa-apa kita sudah disambut perang. Apa betul Tuminah tinggal disini?

ROIMA: Yakin saya. Di kampung ini tapi tidak di gubuk-gubuk situ.

JULINI: Kalau begitu buat apa kita ke mari.

ROIMA: Kan bisa tanya. (CELINGUKAN)

T. SULAP: Ah, bapak-bapak. mau beli obat semprot anti kecoa? Saya punya banyak persediaan. Murah. Beli tiga botol satu gratis. Manjur. Sekali semprot, langsung dud. Dan tahan lama..

JULINI: Bisa buat meracun orang?

T. SULAP: (BERBISIK) Mari. Siapa yang mau diracun? Laki, perempuan? Berapa umurnya? Berat badannya berapa?

JULINI: Kok?

T. SULAP: Semua itu mempengaruhi. Kalau sudah tahu, baru kita takar berapa dosis yang diperlukan untuk bisa langsung dud.

JULINI: Dud. Out, maksudnya?

T. SULAP: Ya, semacam itu. Butuh berapa botol? Obat ini juga bisa sebagai obat anti binatang, obat anti manusia. Pendeknya racun serba guna. Sama mbak ayu saya jual murah, harga promosi.

ROIMA: Mau meracuni siapa?

JULINI: Roima. Eh, Roima. Bukan, maksud saya. Kok abang bikin kaget saja. Selalu bikin kaget.

ROIMA: Kita pergi. (MENYERET JULINI).

T. SULAP: Jadi beli tidak?

JULINI: Jadi, tapi nanti. Simpan saja. (KELUAR)

T. SULAP: Banci. Pasti setiap hari dia diporot sama pacarnya itu. Sial, hari sial.


LAMPU BERUBAH



ENAM


TEMPAT PELACURAN.

NAMPAK TARSIH SEDANG MEMIMPIN PARA CABO SENAM JANE FONDA. MUSIKNYA ROCK. PARA CABO BERSEMANGAT SEKALI MELAKUKAN GERAK-GERAK SENAM SEKS ITU. TARSIH, SANG GERMO, LANGSING BETUL.

TARSIH: And one, and two, and three, and four. Yak, kita ulangi. And one. and two, and three, and four. Ulangi sendiri-sendiri dan samakan. Yak (CABO-CABO MENGHITUNG LANGKAH SENAM) bagus.

SEMUA.: And one, and two.and three, and four...(DAN SETERUSNYA).

TARSIH: Senam ini penting sekali untuk kita semua, apalagi bagi kita yang siang malam bekerja keras. Tari perut-putar pinggul tanpa pandang bulu. Senam ini membikin kencang otot-otot. Untuk kita, ini penting sekali demi kepuasan para langganan. Langganan puas, uang datang. Langganan tidak puas, kita ditendang. Yak, and one, and two, and three, and four..


(TUMINAH DI TINGKAT ATAS KELUAR DARI KAMAR. MENGANTAR SESEORANG YANG KALAU DITILIK PAKAIANNYA PASTI PEJABAT PENTING).


TUMINAH: Kapan datang lagi, pak?

PEJABAT: Mas..

TUMINAH: Kapan datang lagi mas?

PEJABAT: Selalu akan datang, selalu. Kamu luar biasa Tuminah. Luar biasa. Mas puas, selalu puas. Kamu lain dengan yang lain-lain.

TUMINAH: Apanya yang lain, mas?

PEJABAT: Lho malah tanya. Pokoknya lain, bersedia main dengan pose-pose lain. Buat mas, ini pengalaman luar biasa.

TUMINAH: Di rumah sendiri, apa tidak bisa anu dengan pose-pose lain, mas?

PEJABAT: Di rumah? woo, monoton. Satu posisi saja selama 30 tahun. Kan bosen. Ya nggak? Istriku tidak gemar yang aneh-aneh. Dicolek lampu dimatikan, buka daster, dor-dor-dor, tiga menit, sudah. Lalu ngorok. Tidak ada rayuan rayuan. Isteriku menganggap itu gombal.

TUMINAH: Cari isteri lain dong.

PEJABAT: Isteri lain? Mau diturunkan pangkatnya? Bagi orang penting macam mas, tak boleh punya isteri dua. Atasan bisa marah. Main-main di luaran boleh, tapi punya isteri lagi, nanti dulu. Persatuan isteri-isteri pejabat, pengaruhnya kuat sekali. Dan itu pula yang membuat mereka makin sewenang-wenang. Kami para suami, hanya bisa mengurut dada. Sudah, sekarang mas pulang dulu.

TUMINAH: Cium dulu dong.

PEJABAT: (MENCIUM) Mmmmmmm.. manisnya. Seperti madu dari Sumbawa. Daag.

TUMINAH: Daag.

PEJABAT: (TERPEROSOK) Aduuuh..

TUMINAH: Auww, hati-hati mas, banyak lubang di situ.

PEJABAT: Mas yang salah. Habis lemes. Kamu luar biasa. Daag. (CEPAT-CEPAT MENGHILANG).

TARSIH: (MASIH MEMIMPIN SENAM) and one, and two, and tnree. and four. Lemaskan otot kaki Susi, busungkan tetek Ade. Dan Nina, nafas jangan ditahan-tahan. biarkan dia keluar sebebas-bebasnya. Yak lanjutkan.

Tuminah, kalau sudah selesai langsung bergabung.

TUMINAH: Aduh, masih ada lima tamu lagi mbak Tarsih..

TARSIH: Biar mereka menunggu.....Jangan takut, tidak bakal lari.

TUMINAH: Ya deh.. (TURUN DAN DI BAWAH LANGSUNG COPOT ROKNYA. TERNYATA SUDAH SIAP DENGAN PAKAIAN SENAM).

(PADA SAAT ITU, ROIMA DAN JULINI MUNCUL)

(Dl SUDUT, SEORANG BODIGAR NAMPAK SEDANG NGOROK DI KURSINYA)

JULINI: Bang, itu Tuminah. Itu. Aduh, masih mau kenal tidak ya? Jangan ganggu dulu, biar kita lihat dulu. Nanti sehabis mereka talso, baru kita dekat. Aduh, makin bahenol Tuminah. Eh, itu Tarsih. Aduh lengkap mereka. Aduuh... (ASYIK SENDIRI. MALAH IKUT-IKUTAN GERAK SENAM, TAPI YA JATUH BANGUN. ROIMA DIAM SAJA).

TUMINAH: (MELIHAT JULINI) Lho? Julinii? Julinii, Julinii, mbak Tarsih, Julini. (MENGHAMBUR KE JULINI) masih hidup Jul?

JULINI: Ya, hidup-hidupan.

TARSIH: Julini. (TAPI TIDAK RAMAH)

(KEGIATAN TERHENTI)

TUMINAH: Bagaimana bisa tahu saya di sini?

JULINI: Mana korannya bang. Mana. Nih, potret kamu aku lihat di koran. Pakai dilingkari segala.

TUMINAH: O, ini lingkaran berhadiah dari pos kota. Sudah tujuh bulan yang lalu.

JULINI: Ya, kan di sini ditulis juga alamatnya. Hadiahnya kompor gas ya. Aduh, modern dong dapurnya sekarang, pakai gas.

TARSIH: Jul.. kawan-kawan, sudah bubaran dulu. Ya (MEREKA BUBAR)

JULINI: Tarsih. Maju ya sekarang usahanya.

TARSIH: Lumayan. Di mana saja, kalau ditekuni usaha macam ini bisa maju. Apalagi banyak suami-suami yang frustasi. Kan kita baca juga di koran-koran, berita tentang perceraian makin sering ditulis.

JULINI: Ya. Kalau saya sih, tetap setia sama abang kita ini. Setia sampai kita berdua ditembak mati hansip.

ROIMA: Hush..

TARSIH: Jadi Julini datang mau apa?

TUMINAH: Bagaimana kalau nanti saja itu kita tanyakan mbak Tarsih? Kasihan dia, capek. Sudah makan?

TARSIH: Tidak Tum, kita sekarang harus tahu dengan jelas tujuan orang biarpun dia itu teman kita sendiri. Ingat pengalaman kita dulu-dulu. Aku tak mau lagi diremehkan orang. Ingat juga masa lalu kamu, kamu serahkan kehormatanmu untuk jadi nyamikan orang-orang konyol. Kamu lakukan itu untuk membela kepentingan kakakmu. Tapi apa hasilnya? Kamu dihancurkan juga dan kakakmu masuk penjara. Kita harus keras Tum, harus. Itu kalau kita sayang pada diri sendiri. Menolong orang boleh, tapi kita tetap harus meminta imbalan. Begitulah tata cara hidup di kota besar. Kalau kita lemah, kita habis.

TUMINAH: Lho, ini apa-apaan? Kita belum tahu Julini datang mau apa, kok sudah curiga. Mentang-mentang dia datang dari desa.

TARSIH: Orang-orang sudah tahu kita sukses. Kalau mereka datang pada kita, apalagi yang diharapkan kalau bukan pertolongan.

TUMINAH: Kalau bisa menolong, mengapa tidak kita lakukan?

JULINI: Aduh, sudah, jangan bertengkar. Saya datang, cuma kangen. Sungguh mati. Cuma kangen. Minta tolong? Untuk apa? Roima sudah dapat pekerjaan di pabrik kabel. Saya cuma ingin kasih tahu, kami sudah di sini lagi.

ROIMA: (TAK TAHAN LAGI) Kita pergi, Jul.

TUMINAH: Tunggu. Di mana kalian tinggal?

JULINI: (BUNGUNG) Di...

ROIMA: (MENYERET JULINI) Jangan bandel, pergi.

(PERGI. TUMINAH DIAM. TARSIH MELAWAN PERASAAN)

TARSIH: Aku tidak bermaksud mengusir mereka.

TUMINAH: Hidup di kota besar, makin membuat orang jadi sadis. (MASUK)

(LAMPU BERUBAH, TARSIH TERMANGU)


TUJUH


PADANG GOLF. ROIMA DAN JULINI DUDUK DI RUMPUTAN MELEPAS LELAH. JULINI BENGONG. ROIMA URING-URINGAN.

ROIMA: Setan.Bajingan.Cabo.

JULINI: Heran, bisa berubah begitu. Padahal dulu, Tarsih itu hatinya baik betul.

ROIMA: Dan kamu bilang aku sudah kerja di pabrik kabel. Kabel apa? Bilang saja mau minta tolong dicarikan pekerjaan, susah amat. Belit-belit.

JULINI: Jangan begitu dong, saya kenal abang sudah lama. Saya paham watak abang: suka gengsi. Kalau saya bilang langsung-langsung begitu, abang pasti marah. Kita butuh pertolongan, tapi jangan sampai minta. Kalau mereka mau tolong, ya tolong.

ROIMA: Saya sudah berubah juga, tahu. Sudah berubah.

JULINI: Ya bilang dong dari kemarin-kemarin, supaya ada ancang-ancang. Selalu begitu, kalau sudah kejadian baru kasih tahu. Jadi sekarang bagaimana? Kembali ke desa?

ROIMA: Memangnya judul film? Sialan. Aku dendam, dendam. Kita harus usaha sendiri. Untuk sementara.

JULINI: (LEMAS) Yaa, untuk sementara saya jadi cabo lagi.

ROIMA: Demi hidup, apapun harus kita jalankan.

(PELUIT SATPAM, MAKIN LAMA MAKIN DEKAT).

JULINI: Lho, ini gimana sih. Kok di mana-mana banyak satpam. Kita di mana sih sekarang? Padang rumput luas betul. Ini lapangan bola?

SATPAM-1: (TIBA-TIBA MUNCUL) Lapangan golf, goblok. Minggat. Minggat.

JULINI: Di mana tempat kita bang? Di mana-mana kita tidak diterima. Kita ini kayak hidup di negeri orang, padahal saya punya ktp.

SATPAM-1: Jangan rewel, minggat! Akan ada orang penting di sini.


(DI BAGIAN PERKAMPUNGAN KUMUH, ORANG-ORANG NONGOL DARI LUBANG-LUBANG GOT KETIKA SIRENE BERBUNYI. MEREKA MENENGOK KE ARAH LAPANGAN GOLF SEPERTI NONTON FILM LAYAR TANCEP)


ORANG-1: Ssstt....sttt..mbak ayu..sini.

ASNAH: Sini, sini. Bengong di situ terus nanti ditembak kamu.

(JULINI DAN ROIMA BERGABUNG DENGAN KELOMPOK KUMUH)

JULINI: Kelihatannya gawat amat, bakal ada perang?

ASNAH: Ya. Perang golf.

ORANG-2: Pak Pejabat mau bertanding golf dengan tamu dari luar negeri, sambil memblcarakan nasib rakyat kecil.

ORANG-1: Sssttt.... mereka datang. Diam.


(PARA PENGAWAL, WARTAWAN-BAIK DARI KORAN MAUPUN TELEVISI - BERMUNCULAN. SEORANG REPORTER MENGAMBIL PENGAMBILAN GAMBAR. KETIKA DUA TOKOH YANG DITUNGGUI ITU MUNCUL, WARTAWAN-WARTAWAN LEBIH REPOT LAGI. LAMPU BLITZ BERKEREDEPAN. DUA TOKOH ITU BERPAKAIAN SPORT, MENYANDANG STIK GOLF DENGAN MASING-MASING CADDI-NYA. MEREKA MENJADI TONTONAN YANG ASYIK BAGI ORANG-ORANG PERKAMPUNGAN KUMUH)


PEJABAT: Persahabatan kami dengan bangsa tuan, sudah sampai ke taraf yang saling menjanjikan. Perhatian dunia sekarang terbetot ke sini semua. Tawaran tuan untuk bersedia memberikan kredit dengan bunga lunak, sungguh simpatik sekali. Dana yang tuan sumbangkan itu, percayalah..., pasti akan sangat bermanfaat bagi kehidupan rakyat kami. Dan mereka pasti akan berterima kasih.

TAMU: (AKSEN INDONESIANYA, ASING) Pasti. Bantuan kepada negara yang sedang membangun, memang menjadi prioritas kami. Kami punya uang, bangsa tuan punya cita-cita. Kami wajib membantu cita-cita bangsa tuan yang berbunyi (MENGAMBIL CATATAN DARI SAKUNYA MEMBACA) "Yang akan memanfaatkan dana kredit untuk kesejahteraan rakyat banyak. Yang akan dibangun, hanyalah usaha-usaha yang manfaatnya bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Semua proyek-proyek yang mubazir akan kembali ditinjau dan digantikan dengan proyek-proyek multiguna. Dengan demikian, bantuan kredit ini tidak boleh hanya ditinjau dari segi keuangannya saja, tapi lebih merupakan usaha manusia untuk membantu saudara-saudaranya sesama manusia" (SEMUA YANG HADIR BERTEPUK TANGAN) Bravo dari saya. Artikel ini sungguh menarik sekali.

PEJABAT: Yang penting, dana kredit itu akan keluar dengan segera?

TAMU: Pasti. Pasti. One for me, one for you. Masing-masing lima persen.

PEJABAT: Ah, itu tidak penting untuk dibicarakan. Kita kan bekerja untuk kesejahteraan bangsa kita masing-masing. Tidak penting, tidak penting. Tapi yang lima persen itu boleh tuan masukkan ke dalam rekening bank saya, nomor.....

TAMU: Baik. Baik.

(SEMUA YANG HADIR BERTEPUK TANGAN)

TAMU: Untuk sekedar formalitas, perkenankan saya mengunjungi daerah-daerah yang tuan anggap sukses dalam pembangunan.

PEJABAT: O, bisa, bisa.

(MEMANGGIL SATPAM. BISIK-BISIK. SATPAM KE WARTAWAN-WARTAWAN)

SATPAM-2: Saudara-saudara, acara ini sudah selesai. Bapak dan yang mulia tamunya, hendak menikmati acara yang sifatnya lebih pribadi. Mohon maaf. Press-release akan dibagikan nanti sore secara tertulis. Juga amplopnya sekalian.

(WARTAWAN-WARTAWAN BUBAR TANPA PROTES)

PEJABAT: Nah, kita bisa lebih santai sekarang. Setelah bekerja keras demi rakyat, boleh dong kita sejenak memikirkan diri sendiri.

TAMU: O, itu wajar. Wajar.

PEJABAT: Omong-omong, di negeri tuan, pasti banyak sekali tempat-tempat rileks yang seronok.

TAMU: O, ya. Ya. Kami punya banyak.

PEJABAT: Juga wanita-wanita penghibur?

TAMU: Banyak juga. Banyak juga.

PEJABAT: Tuan sering mengunjungi mereka?

TAMU: Ya, kadang-kadang. (BISIK-BISIK) saya yakin di negeri tuan para wanita penghibur juga tak kalah hebatnya. Dongeng-dongeng mengatakan kelembutan dan keayuan wanita timur... hahaha.

PEJABAT: Hahaha.. kalau bersedia, saya bisa antar tuan ke sana.

TAMU: Oo, bersedia, bersedia. Sure, that's the most important.


(SEKARANG PARA CABO YANG TEPUK TANGAN. SEJAK TADI MEREKA NONTON DARI BANGUNAN TARSIH TINGKAT ATAS).


PEJABAT: Sekarang?

TAMU: Sekarang.

(MEREKA PERGI KEBANGUNAN TARSIH)

PEJABAT: Tuminah. Mas, datang lagi.

(MASUK KE DALAM BANGUNAN TARSIH)


LAMPU BERUBAH



DELAPAN


PERKAMPUNGAN KUMUH.

(TONTONAN GRATIS SUDAH SELESAI, MEREKA. KEMBALI LAGI KE KESIBUKAN SEHARI-HARI).

ASNAH: Baru datang dari kampung?

JULINI: Ya. Dulu tinggal di sini. Digusur. Pergi. Sekarang datang lagi. Habis di kampung tidak tahu mesti bikin apa. Mau macul nggak bisa. Jadi tukang pijit, bangkrut. Mereka tidak butuh. Buka warung, bangkrut juga. Diutangi melulu. Jadi..

ORANG-1 + ORANG-2: (KOOR, MENYANYl) "Ke Jakarta aku, kan kembaliiiiii..

JULINI:Ya.Tahu aja.

ASNAH: Terus, mau tinggal di mana?

JULINI: Tahu deh.

ASNAH: Kalau mau, itu masih ada tanah kosong. Biar cuma semeter, lumayan. Itu bagian saya, mau tinggal, tinggal saja.

JULINI: Bagaimana, bang?

ROIMA: Atur bagaimana baiknya. Saya sudah punya rencana sendiri. Saya pergi dulu, nanti balik lagi. (PERGI BERGEGAS)

ASNAH: Pacar? Galak amat mukanya.

JULINI: Suka aneh, tapi hatinya baik. Dulu kasar, tapi sekarang jadi suka mengalah. Di ranjang, ... dulu maunya di atas melulu, sekarang sekali-sekali mau juga di bawah. Ya, ibaratnya manusia kan juga seperti roda, sebentar di atas sebentar di bawah. Tergantung syahwatnya. Ngomong-ngomong, tukang pijit laku nggak ya di sini?

ASNAH: Tukang pijit saja jeblok. Tukang pijit dsb. baru laku.

JULINI: Ya, maksud saya itu. Dulu saya juga tukang pijit dsb. Diantre kayak loket, habis servis selalu memuaskan. Sesudah lama nggak praktek, takut langganan pada lari.

ASNAH: Mulai dari bawah lagi.

(DARI SEBUAH GUBUK TERDENGAR NYANYIAN SUMBANG TAK KERUAN JUNTRUNGAN. CAMPURAN TAWA, TANGIS DAN RASA SAKIT)

JULINI: Apaan tuh?

ASNAH: Kumat lagi barangkali. Cabo pensiunan. Dulu lupa diri, sekarang baru tahu rasa. Reyot, sipilis, dilupakan. Tua.

JULINI: Kasihan.


NYANYIAN: (NYANYIAN ITU BERGEMA LAGI)


KITA INI UBI

KITA INI KERAK NASI

KITA INI SAPI

KITA INI BABI

KITA INI TAI

KITA INI MIMPI


Aduh biyung, sakitnya, sakit bukan kepalang, bukan kepalang. Semuanya hilang, hilang, hilang. Gusti Pangeran, mengapa aku disiksa terus-terusan. Mati saja, mati, lebih baik.


JULINI: Rasanya kenal suaranya. Siapa sih?

ASNAH: Kasijah namanya.

JULINI: Astaganaganaganya. Kasijah? Saya memang kenal. Di situ?

ASNAH: Ya. (YULINI KE GUBUK KASIJAH)

JULINI: Kasijah?

KASIJAH: (TIDAK MENGENALI DAN TERUS MENYANYI) Wowowo, wiwiwiwi...

ASNAH: Sekrup di kepalanya sudah banyak yang dol. Percuma. Dia tidak bakal ingat. Yang dia ingat cuma sakitnya.

JULINI: Kasijah, kasihan betul. Oh, teman seperjuangan, kasihan betul nasibmu sekarang. Melupakan penderitaan, bagai mencoba menghilangkan bayang-bayang badan. (BERSAJAK, MENANGIS) (SEMUA TEPUK TANGAN)

Saya sedih betulan ini.

ORANG-1: Percaya, (TIANG LISTRIK DI KEJAUHAN TERDENGAR DIPUKUL 12 KALI)


LAMPUBERUBAH



SEMBILAN


(TEMPAT PELACURAN. LARUT MALAM.

ROIMA MENGENDAP-ENDAP MELEWATI BODIGAR YANG MASIH NGOROK. ROIMA MEMANJAT TIANG, DAN MENGETUK KAMAR TUMINAH DI TINGKAT DUA)


ROIMA: Tum, Tuminah. Tum. Tuminah..

TUMINAH: (KELUAR, MASIH NGANTUK) Ya? Roima. Ada apa?

ROIMA: Boleh masuk?

TUMINAH: Masuk saja. Ada apa?

ROIMA: Aku mau tanya tentang kakakmu, Tibal.

TUMINAH: Masuk. Masuk. (ROIMA MASUK KAMAR TUMINAH)



SEPULUH


(PERKAMPUNGAN KUMUH. SIANG.

SEBUAH BATU JATUH DARI LANGIT. ORANG-ORANG KAGET).


JULINI: Apa itu?

ASNAH: Batu.

JULINI: Batu?

ORANG-1: Lagi-lagi batu.

ORANG-2: Monumen, goblok.

JULINI: Monumen goblok?

ORANG-2: Monumen, koma, goblok. Monumen.

ORANG-1: Lagi-lagi monumen. Lagi-lagi monumen.

ASNAH: Sedang zamannya.

(ORANG-ORANG TERMANGU) (KASIJAH MASIH MERINTIH-RINTIH)


LAMPU BERUBAH



SEBELAS


TEMPAT PELACURAN. SIANG. PARA CABO BERSENANG-SENANG

MEREKA MENYANYI BERGANTI-GANTI.


JULA JULI SEKUNTUM KEMBANG


SEKUNTUM KEMBANG SEMERBAK WANGINYA

MAIN-MAIN DALAM ANGIN, YA ANGIN, YA ANGIN

MENANTANG MATAHARI, GEMERLAP CAHYANYA

GEMERLAP YA SAYANG, GEMERLAP CAHYANYA


SEKUNTUM KEMBANG, PAHIT NASIBNYA

SEJENAK HARUMNYA, DICARI KUMBANG

BEGITU LAYU LANGSUNG DIBUANG

DIBUANGNYA YA SAYANG, LAYU DIBUANG


KITA SEKUNTUM KEMBANG

HANYA JADI PENGHIAS JAMBANGAN

HANYA JADI GULING Dl RANJANG

DIROJER SIANG MALAM, DISAYANG ENGGAN


KITA INI SEKUNTUM KEMBANG

HANYA SESAAT CINTA SI ABANG

HANYA ADA BUJUK RAYU USANG

SUDAH PUAS LALU DITENDANG


OOOOO, SEKUNTUM KEMBANG, SEKUNTUM KEMBANG


TUMINAH: Dan lantaran sadar kita bakal ditendang, wajar kalau kita sodok sana, sodok sini mengumpulkan banyak uang.

PELACUR-1: Demi masa depan.

PELACUR-2: Sesudah uang terkumpul, kita pergi ke Singapura, cari dokter bedah, pulang-pulang kita perawan lagi. Lalu pulang kampung dan kawin dengan santri.

PELACUR-3: Kalau ditanya mertua: di Jakarta kerja apa? Kita akan jawab dengan lembut: oo, kita buka usaha.

PELACUR-4: Dagang.

PELACUR-5: Wiraswasta.

TUMINAH: (PIDATO) Tapi percayalah saudara-saudara, kita sadar, kita sadar harus kembali ke jalan yang benar. Usaha maksiat ini hanya untuk sementara.

(SEMUA TERTAWA TERBAHAK. MALAH ADA YANG SAMPAI TERKENCING) (TARSIH MASUK)

PELACUR-4: Sssst..

TARSIH: Ada berita baru. Saya terima surat edaran. Ini dia.

TUMINAH: Mengenai apa mbak?

TARSIH: Soal pajak pendapatan.

PELACUR-2: Pajak?

TARSIH: Saya menganggapnya wajar. Setiap usaha di mana saja pasti ada pajaknya. Bagaimana juga kita harus merasa bangga karena dari hasil keringat kita ada yang kita sumbangkan demi negara. Di dalam surat edaran ini, setiap bulannya kita bakal dipungut pajak pendapatan sebesar 17%, ppn 30%, pajak kenikmatan 20% dihitung dari tarif umum. Mereka akan mengontrol dengan ketat sehingga tidak mungkin ada penipuan. Lagi pula kalau terbukti ada penipuan, hukuman penjara menanti. Jadi, saya punya akal. Terpaksa kalian harus menaikkan tarif sebesar 67 persen. Pajak itu kita bebankan kepada konsumen.

TUMINAH: Lho, apa mereka tidak akan protes?

TARSIH: Kalau sudah kebelet, protes tak akan ada. Dan jangan lupa semua lelaki yang kemari adalah mereka yang betul-betul sudah kebelet.

PELACUR-4: Kalau kebelet tapi bokek?

TARSIH: Tolak. Kita hanya akan menerima, harus menerima mereka yang memang punya uang.

PELACUR-2: Kasihan pacar-pacar kita.

TARSIH: (MARAH) Lupakan pacar-pacar. Sekarang ini kita sedang menggali sumber duit, bukan mengumpulkan pacar. Itu kalau kalian sayang diri sendiri. Berpacaran hanya bagi mereka yang hidup cukup. Kita kelas masyarakat yang tergencet. yang harus sanggup menolong diri sendiri. Orang lain tidak akan mau peduli. Kita harus hemat, awas dan tidak gampang tertipu. Pacar-pacar, lebih sering jadi penipu. Jika kita lelaki, tak soal ditipu. Tapi kita perempuan, sekali ditipu, masa depan kiamat. Dan siapa yang sering menipu? Lelaki, lelaki. Pacar-pacar kita. (KEMBALI LAGI KE KAMARNYA)

TUMINAH: Mbak Tarsih dulu sering ditipu pacar-pacarnya.

PELACUR-2: Tapi ‘kan tidak boleh disamaratakan.

(SEMUA MASUK KE DALAM RUMAH)


LAMPU BERUBAH



DUA BELAS


SEBUAH SUDUT JALAN DEKAT PERKAMPUNGAN KUMUH.

TUKANG SULAP SEDANG MENJAJAKAN BARANG DAGANGANNYA.


T.SULAP: Saudara-saudara, jangan anggap saya sinting. Saya serius, mengingat keadaan kita juga sudah serius. Kecoa, saudara-saudara, kecoa, sudah makin jadi ancaman. Apa kalian tidak paham? Begitu seringnya mereka dibasmi, berabad-abad kemudian sejak masa pembasmian pertama, tubuh mereka berangsur-angsur membentuk semacam antitoksin. Kini, bahkan cucu moyang kecoa purba jadi semakin kebal. Kalau hanya obat semprot biasa saja, bukan tandingan. Kecoa-kecoa zaman sekarang ibaratnya sudah memakai helm. Pengaman bahaya. Itu sebabnya saya datang dengan obat semprot manjur. Pakailah obat semprot saya. Ini serius. Bahaya mengancam.

T. SULAP: Jangan kata kecoa, manusia juga bisa modar kena obat semprot. Kalau tidak percaya boleh coba. Resiko tanggung sendiri. (SESEORANG DARI KAMPUNG KUMUH, MELEMPAR BATU. ITU DI IKUTI OLEH YANG LAIN-LAIN. TUKANG SULAP REPOT MENGHINDAR) Eh, apa-apaan ini, apa-apaan ini, apa salah saya. Tolong, tolong saya mau dirampok. Tolong.

(LARI SAMBIL MENYELAMATKAN BARANG-BARANGNYA)


LAMPU BERUBAH


TIGA BELAS


KUMIS, SI KEPALA GENG SEDANG DIHADAP BLEKl, ASISTENNYA. ANAK-ANAK BUAHNYA JUGA ADA. DI SITU ADA JUGA ROIMA DAN TUMINAH. SEMUA SEDANG MENYIMAK FATWA KUMIS.

KUMIS: Hahahaha...

BLEKI: Hahahaha...

KUMIS: Kamu pasti heran lihat aku sekarang. Dulu aku kepala hansip sekarang kepala begal. Hahahaha..

BLEKI: Hahahaha..

KUMIS: Zaman hansip-hansip sudah lama lewat. Sekarang zamannya satpam. Kerjanya sama tapi galaknya beda. Kalau hansip cuma dikasih sepatu bot butut, satpam dikasih borgol dan pentungan. Kadang-kadang pakai alat rojer-rojer segala. haha..

BLEKI: Haha..

KUMIS: Monyong, tutup bacot Iu. Beo. (BLEKl KETAKUTAN). Nah. aku ditendang dari jabatan hansip lantaran dianggap tidak mampu. Mau jadi satpam? Kalah saingan. Lagian, aku buta hurup. Di Jakarta, kalau tidak punya kerja, bisa payah. Lama-lama jadi cacing gepeng diinjak-injak. Mau mengemis? Haram, Otot segini gede, mau dikemanakan? aku bekas hansip, tahu lubang-lubang yang bisa menguntungkan. Banyak barang-barang penting yang ditumpuk terus di gudang, padahal kita orang setengah mati cari barang itu. Mana harganya selangit. Jadi, daripada barang itu mubazir dimakan kutu, kita gedor. Untuk dibagi-bagi. Untuk konco-konco kita. anak-anak kita, isteri-isteri kita, mertua kita.. Orang-orang kaya yang menimbun barang-barang itu, tidak bakal peduli, biar kehilangan satu ton dua ton. Beda dengan kita. kehilangan duit seratus perak, bisa bunuh-bunuhan.

BLEKl: Jadi.. nah ..

KUMIS: (MENEMPELENG BLEKI) Goblok, belum habis gua bicara. Lima tahun jadi asisten, otaknya masih tetap saja di puser. Toyoy.

TUMINAH: Mas Kumis, bagaimana, apa Roima bisa diterima?

BLEKl: O bisa, bisa .. (SEBELUM DITEMPELENG KUMIS LARI DULUAN) Nggak bang, maaf bang, Ini mulut loncer betul, susah diajak diam.

KUMIS: Roima, kamu datang pada alamat yang tepat. Datang pada saat yang tepat juga. Banyak orang melamar untuk jadi anak buah si Kumis, kutolak. Mereka merangkak-rangkak, malah ada yang menyogok, menyodorkan mak-nya sendiri untuk kurojer. Tapi tetap kutolak. Jangan dikira jadi bandit juga tidak diseleksi. Kwalitas, kita mementingkan kwalitas. Saringannya jauh lebih berat dari ujian pegawai negeri.

TUMINAH: Jadi diterima?

KUMlS: Ya.

TUMINAH: Terima kasih mas Kumis. Dan tidak pakai syarat 'kan?

KUMIS: Tuminah, Tuminah. Kamu memang perempuan pintar. Rayuan gombal mas Kumis-mu ini, tak pernah mempan. Padahal kalau kuingat-ingat masa lalu, waktu perawanmu jadi nyamikanku. Waduh. Pengalaman sulit dilupa. Kenikmatan tidak terhingga.

TUMINAH: Mas Kumis bisa tidur sama saya, asal tarifnya cocok. Saya kan sekarang halal untuk siapa saja.

KUMIS: Itu yang aku tidak mau. Cinta murni, siapa bilang itu tidak dirindukan oleh bandit sekalipun? Aku ingin cinta murni, Tuminah.

TUMINAH: Saya harus pergi mas Kumis. Nanti mbak Tarsih mencari saya. Titip Roima dia butuh bimbingan. (PERGI)

KUMIS: Luar biasa. Goyangnya, jeritannya, syahwatnya..

BLEKl: (PADA ROIMA) Pacar ya?

ROIMA: Kamu kan tahu juga pacar saya Julini.

BLEKl: Alla, AC-DC 'kan bisa juga.

KUMIS: Anak-anak, Kita sekarang punya kawan baru. Sesuai kebiasaan, dia harus diplonco. Bleki, sediakan alatnya.

BLEKl: Baik, bang. (MENGAMBIL PENTUNGAN).

KUMIS: Nungging! (BLEKl NUNGGING) Bukan kamu goblok, Roima.

(ROIMA MENUNGGING. SATU PERSATU KAWANAN ITU MEMENTUNG PANTAT ROIMA, KEMUDIAN MENGENCINGINYA. TERAKHIR SI KUMIS).

KUMIS: Sesudah ini kita harus setia dan sepenanggungan. Tidak ada lagi pengkhianatan. Kalau tertangkap polisi, tanggung sendiri, jangan bawa-bawa nama teman. Akur?

ROIMA: Akur.

KUMIS: Kita lafazkan sumpah setia kita. (MENYANYI)


JULA JULI

ANJING BERINGAS


KITA INI ANJING-ANJING BERINGAS

TAI DAN EMAS KITA MAKAN

HARAM HIDUP DARI BELAS KASIHAN

KEBAHAGIAAN HARUS DIRAMPAS

DENGAN AKAL

DENGAN TANGAN KITA

DENGAN KEKERASAN

JIKA TIDAK, KITA TETAP SENGSARA


KITA INI KUMPULAN AJAG

SIAP BERTARUNG JIKA TERPAKSA

UANG TIDAK JATUH DARI LANGIT

DAN DOA-DOA SERING TIDAK BERGUNA

KEHORMATAN ADALAH

KEKUASAAN DAN HARTA

REBUT, REBUTLAH

JIKA TIDAK, KITA TETAP TERHINA

JIKA TIDAK , KITA TETAP TERHINA


LAMPUBERUBAH



EMPAT BELAS


TEMPAT PELACURAN. MALAM. TARSIH DI TINGKAT DUA DUDUK SENDIRIAN.

JULINI SEDANG DITANGGAP OLEH CABO-CABO. TUMINAH DIANTRE, SEMENTARA ADEGAN TETAP BERLANGSUNG. TAMU-TAMU DATANG; TAMU-TAMU PERGI. SUASANA PEUCURAN ITU MERIAH SEPERTI PASAR MALAM.


PELACUR-1: Julini. Julini.

PELACUR-2: Mau ngeteng di sini, Jul?

JULINI: Di sini? Ogah. Julini punya daerah operasi sendiri. Lelaki yang ke mari, pasti cari cewong. Bencong, mana mau mereka. Daripada ditendang bodigar, mendingan nggak. Nih, Julini bawa oleh-oleh. Kue.

PELACUR-3: Nggak ada racunnya nih?

JULINI: Ya, ada. Makan aja, biar pada koit.

PELACUR-1: Aih, Julini jadi modern sekarang, pakai wig merah. Jadi kaya perek. Punk rock ya? Ikut-ikutin mode?

JULINl: Biar perek, biar punk rock kek punk celana, yang penting ini usaha. Servis, servis. Langganan maunya yang aneh-aneh. Kita bikin yang aneh-aneh. Kalau langganan minta yang tradisionil, ya nanti Julini pake kebaya. Biar jalannya jatuh-jatuh, demi langganan, Julini nurut.

PELACUR-4: Makin laku ya?

JULINI: Makin. Tamu-tamu di sini masih kalah jauh, dibanding tamu yang datang mengantre saya.

PELACUR-1: Kalau laku keras, kok sudah ke mari. Baru jam 11.

JULINI: Bosen sih. Dari jam 8 sampai jam 10, sepuluh tamu. Satu tamu berapa lama tuh? Sepuluh menit. Betul-betul kebelet mereka. Baru buka celana sudah anu. Malah ada yang belum sempat apa-apa, sudah basah duluan. Ada langganan yang kumis dan jenggotnya lebat, tampangnya sih kayak cakil, Waduh, mulanya serem, Eh, di kamar, dia cuma melotot.

PELACUR-5: Melotot. Jul?

JULINI: Iya, melotot. Cuma melotot, sudah itu baju dan celananya basah bener-bener basah, kayak baru kecebur di kolam. Dia gemetar. Melotot, merem, melotot lagi, terus lemes.

PELACUR-1: Terus?

JULINI: Sudah. Dia bayar. Padahal belum apa-apa. Edan ya? Rasa-rasanya lelaki sekarang lebih seneng sama lelaki. Serem.

PELACUR-2: Ah, masak?

JULINI: Idiih, betul. Mereka bilang, eh, saya tanya: kok nggak datang ke tempat mbak Tarsih sih? Kan banyak yang cakep-cakep? Mereka bilang: bosen sama cewek. Bosen. Saya bilang lagi, kan sama saja. Eh, mereka malah marah. Nggak sama, katanya. Kalau sama, lubang knalpot juga bisa.

(SEMUA TERTAWA).

Ini maaf saja ya, ini pembicaraan untuk ibu-ibu yang sudah berumah tangga. Yang masih perawan tutup kuping saja deh. Maaf. Ini pendidikan seks Iho. Maksud Julini baik, biar di luar tertawa, di batin nangis. Betul. Ini pekerjaan terpaksa. Kalau bisa jadi sekretaris sih, lebih baik jadi sekretaris. Yah, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan keseleo. Eeh, keseleo.

PELACUR-1: Roima nggak cemburu. Jul.

JULINI: Cemburu? Gombal. Orang dia yang nyuruh. Kalu nggak begini mana bisa makan. Mau makan cemburu? Angin dong, kentut melulu. Yah, namanya juga usaha. Halal atau haram kan kita sendiri yang nanggung. Orang lain bisanya cuma bilang: harom, harom... begitu kita datang minta kerjaan atau duit, eh mereka ngumpet. Baru datang di luar pagar,... sudah disuguhi tulisan: Awas Anjing Galak.

Bisa saja mereka bilang: masa cari kerja yang baik tidak bisa? Bisa. Tapi apa? Mustinya ‘kan bukan ocehan, tapi nih nasi, nasi, kerjaan, kerjaan. Baru betul.

PELACUR-4: Usaha makin maju ya Jul?

JULINI: Lumayan, bisa beli bh baru, celana dalam bikinan luar negeri, Langganan ‘kan seneng kalau kita bersih, apalagi lihat celana dalam warna-warni, makin hot dia. Sekarang modelnya celana dalam bordiran merah jambu. Ya 'kan, ya 'kan?


(DAN JULINI PUN MENYANYI, DIIRINGI OLEH TERIAKAN CABO-CABO)


JULINI: JULA JULI TIGA KENIKMATAN


DAN APA YANG SEDANG MEREKA KEJAR?

TIGA KENIKMATAN, YA SAYANG, TIGA KENIKMATAN

KENIKMATAN SYAHWAT, LIDAH DAN PIKIRAN

KETIGANYA PENTING DAN DIPERLUKAN


TAPI UNTUK BISA MEMILIKI

TIGA KENIKMATAN, YA SAYANG, TIGA KENIKMATAN

ORANG BUTUH BIAYA, BUTUH UANG

DUNIA INI TIDAK ADA YANG GRATIS


APA YANG BISA DIJUAL KITA JUAL

UNTUK BISA HIDUP SEGALA DILAKUKAN

NASIB ADA DI TANGAN KITA SENDIRI

ORANG LAIN MANA PEDULI, MANA PEDULI


Ah, kalau diingat-ingat, Julini bisa cengeng. Nasib kita memang celaka, tapi orang hanya bisa mencela. (LARI)


TUMINAH: (MUNCUL) Jul, ke mana, Jul?

JULINI: Pulang. Kalau terlambat nanti Roima marah, (PERGI).

(CABO-CABO MENERUSKAN KEGIATANNYA. TARSIH TERCENUNG. TUMINAH SEDANG TIDAK ADA TAMU)

TARSIH: Julini selalu sembarangan, tapi dia benar. Sukur, dia tidak menyalahkan aku. Kita memang harus keras. Apa yang kita peroleh sekarang ini sebetulnya boleh dibilang seperti mukjijat. Kita tidak lagi di comberan seperti dulu, meskipun pekerjaan kita tetap dianggap kotor seperti air comberan.

TUMINAH: Selama kita masih di sini, kita tak akan pernah bisa bahagia.

TARSIH: Itu sebabnya aku selalu keras kepada kalian. Kumpulkan uang sebanyak-banyaknya, kemudian minggat dari sini dengan modal yang cukup. Pergi ke tempat orang-orang yang tidak tahu latar belakang kita. Lalu mulai hidup baru.

TUMINAH: Ya, mbak Tarsih satu-satunya germo yang bukan pemeras.

TARSIH: Aku pernah jadi seperti kalian. Aku tidak ingin kalian mengalami apa yang pernah aku alami. Aku bukan:pegawai departemen sosial, aku hanya bekas cabo yang tak rela kalian terus jadi cabo sampai tua.

TUMINAH: Ya.

TARSIH: Tapi apa bisa? (MENYANYI PELAHAN)


JULA JULI LAGU SUMBANG


BAHAGIA, YA SAYANG, BAHAGIA

DALAM NAJIS DAN NANAH

INGIN ADA TAPI JADI SISA

APA ARTI BAHAGIA


BUMI DAN LANGIT MEMBENCI KITA

DUNIA KITA GELAP GULITA

CAHAYA HANYA IMPIAN

HANYA IMPIAN, YA SAYANG, HANYA IMPIAN


KITA INI CUMA LARON-LARON

YANG TERBANG MENGGELEPAR

BERGEMBIRA SEJENAK

LALU MATI KENA PANAS LAMPU


DAN LAGUKU INI LAGU SUMBANG

LAGU MEREKA YANG DIBUANG

LAGU ORANG TANPA HARAPAN

LAGU PUNGGUK RINDUKAN BULAN


LAGUKU INI LAGU SUMBANG

LAGU SUMBANG, YA SAYANG, LAGU SUMBANG


(TARSIH MENANGIS)


TUMINAH: Mbak Tarsih. Mbak tidak boleh begini. Kita semua butuh orang seperti mbak. Nasib saya tidak keruan kalau dulu tidak ada mbak. Saya tidak punya orang tua lagi, sedangkan kakak laki satu-satunya ada di penjara. Bisa apa orang bodoh seperti saya?

TARSIH: Tuminah, apa betul saya ini punya guna?

TUMINAH: Punya, punya. Kita bisa kuat kalau saling menunjang. Orang jadi lemah. biasanya karena merasa sendirian.

TARSIH: Ya.


LAMPU BERUBAH



LIMA BELAS


SEBUAH LOKASI PROYEK YANG DANANYA DIAMBIL DARI DANA BANTUAN KREDIT LUAR NEGERI. SEORANGTAMU SEDANG MENINJAU DIANTAR OLEH BEBERAPA PEJABAT. DAN SEPERTI BIASA, WARTAWAN-WARTAWAN PUN MELIPUT ACARA PENTING SEMACAM ITU.

DUA SATPAM MENUTUP GUBUK-GUBUK DENGAN SELUBUNG KAIN PUTIH, SEBELUM TAMU DAN PARA PEJABAT DATANG.

TAMU: Luar biasa. Wonderful. Great Satisfied. Dana bantuan yang sungguh-sungguh dimanfaatkan dengan tepat sekali. Semua ini akan saya laporkan,

PEJABAT: Ini masih belum apa-apa. Hamparan tanah kosong di depan itu kelak akan kita bangun sekolah-sekolah, perpustakaan umum, tempat-tempat ibadah dan pasar bagi pedagang-pedagang modal kecil. Semuanya demi kesejahteraan rakyat.

TAMU: Rencana mulia, sekali lagi luar biasa. Kami tidak menyesal telah membantu terlaksananya rencana mulia itu, malah bangga. Sekali lagi, luar bisa. Ck, ck.

PEJABAT: Bukan itu saja, kesenian dan kebudayaan juga kita perhatikan. Sarana untuk itu semua, akan kita dirikan di sebelah sini. Ya di situ. Kehidupan kesenian, baik yang modern maupun yang tradisi, akan terus kita subsidi. Ini penting dan memang sudah watak bangsa kita sejak zaman Majapahit dan raja-raja Jawa. Riset-riset tentang kebudayaan lama, menjadi prioritas utama. Peninggalan-peninggalan lama kita pugar, semua. Sampai-sampai kuburan yang dianggap kramat oleh masyarakat juga kita pugar. Anak cucu kita harus tahu kelak, bahwa generasi kita adalah generasi yang sangat menghormati sejarah nenek moyang. Generasi yang sangat menghormati kuburan.

TAMU: Betul itu, betul. Sekali lagi luar biasa. Semua kuburan dipugar ya? Ck. ck. ck... semua kuburan.

PEJABAT: Dan musium juga akan kita dirikan di mana-mana. Ini penting sebab kita pikir, hanya bangsa yang goblok saja yang tidak memperdulikan dokumentasi sejarah masa lampau.

PEJABAT: Dan monumen. Kita akan dirikan monumen bagi setiap peristiwa, baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat kepahlawanan. Ada sejuta pahlawan, kita dirikan sejuta monumen. Setiap peristiwa yang menyentuh hati masyarakat, langsung kita tanggapi. Hasilnya monumen. Mereka yang masuk dalam Barisan Sakti Hati bilang: beras lebih penting dari monumen. Tapi kita dan rakyat bilang: monumen itu penting. Monumen ibarat celana. Kebudayaan.

TAMU: Great. Sekali lagi, luar biasa. Dengan begitu, saya bisa pulang ke negeri saya dengan hati sangat puas.

PEJABAT: Ada yang ingin tuan Iihat lagi?

TAMU: Cukup, cukup. Apa yang saya Iihat sekarang ini sudah mencakup gambaran keseluruhan. Tugas saya selesai dan (BISIK-BISIK).. kita kembali ke pacar tuan itu, siapa nama­nya?

PEJABAT: (BISIK-BISIK) Tuminah..

TAMU: (BISIK-BISIK) Dia juga wonderful, seperti proyek-proyek ini.

PEJABAT: Ya.

(KETIKA DIPOTRET WARTAWAN. MEREKA BERPOSE. BERSALAMAN. PASANG AKSI)

PEJABAT: Mari.

TAMU: Mari.

(MEREKA PERGI DIIRINGI PARA WARTAWAN. DUA SATPAM TINGGAL. KETIKA SUDAH PERGI, DUA SATPAM MEMBUKA KEMBALI SELUBUNG YANG MENUTUPI GUBUK-GUBUK ITU. PARA PENGHUNINYA TERNYATA MENONTON ACARA ITU, MESKIPUN ADA Dl BAWAH SELUBUNG, ARTINYA MEREKA KEPANASAN. DUA SATPAM PERGI)

ORANG-1: Ck, ck, ck...

ORANG-2: Luar biasa, sekali lagi, luar biasa.

JULINI: Wonderful.



ENAM BELAS


SUATU TEMPAT. NAMPAK ROIMA DAN TUMINAH.


T. SULAP: (HANYA LEWAT) Kecoa, obat semprot anti kecoa. Manjur, manjur. Beli tiga dapat empat. Kecoa, obat semprot anti kecoa.

ROIMA: Jadi bagaimana?

TUMINAH: Saya takut.

Dia pasti marah. Dia pikir aku tetap wanita baik-baik. Dia tidak akan menduga aku ...

ROIMA: Tibal harus mengerti. Dia tidak boleh seenaknya saja. Kamu hanya korban.

TUMINAH: Tapi Tibal berangasan. Keras. Apa yang dia mau, itu harus bisa diperoleh. Ia ingin aku jadi orang baik-baik. Kalau dia tahu aku begini, aku pasti dibunuhnya. Dulu aku serahkan kehormatanku pada Kumis, itu semata hanya karena aku ingin agar ladangnya tidak digusur. Akhirnya digusur juga.

ROIMA: Salah dia sendiri, mengapa jadi mata gelap dan membunuh petugas. Dia tidak bertanggung jawab, lupa ada kamu.

TUMINAH: Sekarang dia sudah bebas. Apa yang harus kubikin?

ROIMA: Biar aku yang bicara. Kalau ada apa-apa, aku akan melindungi kamu.

TUMINAH: Roima (MEMEGANG TANGAN ROIMA)

ROIMA: (MEMBALAS MEMEGANG TANGAN, TAPI JENGAH SENDIRI) Aku pergi, Julini pasti sudah di rumah.

TUMINAH: Ya. Kamu milik Julini. Aku lupa.

ROIMA: Aku sering heran, kenapa kamu tidak dendam sama Kumis.

TUMINAH: Hm. Dendam.

ROIMA: Dia hancurkan masa depanmu. Dia acak-acak. Dia bongkar semua yang jadi tumpuan harapanmu.

TUMINAH: Dia cuma pacul. Dia bergerak bukan atas kehendak sendiri. Jika aku harus mendendam, tentu bukan pada si Kumis tapi pada mereka yang sanggup membuat Kumis patuh membabi buta. Lihat saja sekarang, si Kumis kan ditendang juga akhirnya?

ROIMA: Tibal pasti dendam.

TUMINAH: Kalau Tibal, ya.

(TERDENGAR TERIAKAN JULINI, MEMANGGIL)

JULINI: Roima. Roima. Roiimmm...

ROIMA: Aku pergi. Nanti kita ketemu lagi. (PERGI EERBEGAS)

(TUMINAH MASIH TERMANGU. SAAT ITU MUNCUL JULINI)

JULINI: Tum, lihat Roima?

TUMINAH: (MENGGELENG) Nggak.

JULINI: Ke mana sih? padahal dia janji pulang sorean. Saya sudah masak makanan kegemarannya: tempe bacem. Hampir malam. Sebentar lagi saya harus ngeteng. Kita sekarang jarang ketemu. Kalau saya pulang, dia belum datang. Katanya, mas Kumis banyak kasih kerjaan. Obyekan lagi banyak sekarang. Betul?

TUMINAH: Mana saya tahu, Jul.

JULINI: Kali aja denger-denger gitu.

TUMINAH: Nggak, nggak denger apa-apa.

JULINI: Tuli dong..

Eheh, tapi betul obyekan luber ya sekarang. Banyak orang kaya yang bingung buang duit ke mana. Mereka iseng. Yang syahwatnya gede pergi ngeteng ke pinggir-pinggir kali dan comberan. Saya tanya: Kenapa nggak ke hotel-hotel mas? Pengalaman. Kita butuh pengalaman, kata mereka. Pengalaman. Kena penyakit baru tahu.

TUMINAH: Baju kamu bagus-bagus sekarang ya?

JULINI: Yah, namanya rezeki Tuhan. Roima sekarang juga sering pulang bawa uang. Nggak kayak dulu, gratisan melulu. Kita nabung, rencananya kalau uang sudah terkumpul, mau buka salon. Nggak di sini, dipinggiran.

TUMINAH: Nggak punya rencana kawin, Jul?

JULINI: Idiih, dulu kan sudah tapi batal. Terus kita pikir-pikir lagi, kawin ada gunanya nggak sih? Lebih baik ‘kan kumpul ayam saja...

TUMINAH: Kumpul kebo...

JULINI: Ya-lah, macam itu. Lagian kita nggak bakal ditangkap hansip ‘kan bukan laki perempuan. Kalau Tuminah yang kumpul badak sama Roima kali bisa ditangkap pak RT.

TUMINAH: Kumpul kebo ...

JULINI: Ya-lah, kumpul bebek, eh bebek. Apa bedanya kebo, badak, buaya, kodok, kecoa kan yang penting sama-sama kumpul?

JULINI: Modern ya kita? Kayak bintang pelem saja. Tapi ngomong-ngomong sering sedih juga. Pengin punya anak tapi engga bisa. Mau operasi ganti kemaluan, mahal sekali. Ah, sudah ah. Bikin orang jadi cengeng. Tapi betul nggak lihat Roima? (TUMINAH MENGGELENG) Ya sudah, saya cari dia. Roima. Roima, Roiim, Di mana sih kamu, jangan main petak umpet dong. (KELUAR)

TUMINAH: (KESAL PADA DIRINYA SENDIRI) Setan. (PERGI)


LAMPU BERUBAH


TUJUHBELAS

KUMIS SEDANG DIHADAP OLEH BLEKI, ROIMA DAN ANAK BUAHNYA YANG LAIN. MALAM GELAP, DAN KUMIS DUDUK DI TENGAH-TENGAH MEREKA BAGAI RAJA KECIL. BLEKI MEMIJIT PUNGGUNG KUMIS.

KUMIS: (SAMBIL MEREM) Wakil dari Blok M dan sekitarnya.

WAKIL-1: Ada. Beres bos, setoran sesuai permintaan.

KUMIS: Seharusnya ada lebihnya, daerah kamu termasuk paling ramai. Bulan depan ditambah 10 persen setorannya.

WAKIL-1: Baik bos.

KUMIS: Wakil dari Glodok. Hayam Wuruk. Gajah Mada dan Roxi.

WAKIL-2: Beres juga bos, ada tambahan hadiah untuk bos: tongkat dari gading ukir antik. Ini bos.

KUMIS: Terima kasih. Tapi goblok kamu, kalau mau menyindir waktunya harus tepat. Kamu pikir aku sudah pengkor, sampai harus pakai tongkat segala? Roima, rangket dia dan kencingi.

ROIMA: Baik. (MENYERET WAKIL2 YANG TAK BISA BICARA APA-APA)

KUMIS: Wakil dari Priok dan Binaria.

WAKIL-3: Wah, panen bos. Penghasilan tiga kali lipat dari bulan lalu.

KUMIS: Bagus. Bulan depan kamu boleh libur setoran. Tapi tetap lapor.

WAKIL-3: Terima kasih bos, terima kasih.

KUMIS: Yang lainnya, tumpuk saja setorannya di belakang Bieki. Lalu bubar. Hari ini tidak ada yang penting. Semuanya masih aman.

KUMIS: Aduh, mukul apa mijit. Gua cekek lu.

BLEK: Sori, bos. keasikan.

KUMIS: Tunggu apa lagi, cepat bubar. Eh, tunggu. wakil dari Cengkareng mana?

WAKIL-4: Ya, bos.

KUMIS: Bulan depan setoran kamu naik 50 persen. Gua denger ada lapangan terbang sama tol didirikan di situ.

WAKIL-4: Ya, bos. Lapangan terbang bukan obyekan empuk. Lagian masih sepi. Tol juga yang ada cuma truk-truk.

KUMIS: Berani membantah? Roima..

WAKIL-4: Ya, bos, nggak berani membantah. Bisa, bisa. Bulan depan bisa naik setorannya. Seratus persen juga bisa.

KUMIS: Bagus. Sekarang bubar semua. (SEMUA BUBAR). Setan. Jangan keras-keras. Gua kepret miskin lu. (ANAK BUAH KEMBALI LAGI) Bukan sama kalian. Bleki. Bubar. (SEMUA NGACIR HILANG). Roima, bagaimana? Senang kerja sama Kumis?

ROIMA: Lumayan.

KUMIS: Lumayan? Kamu bisa naik pangkat dengan cepat, hanya dalam tempo satu tahun. Kamu kuangkat jadi kepala keamanan seluruh kawasan DKI dan sekitarnya. Kekuasaanmu besar. Masih juga bilang lumayan? Setan kudisan. Gua... ya sudahlah, barangkali memang cuma lumayan. Kalau kita sukses berarti harta simpanan kita melimpah. Tapi sejak tiga tahun yang lalu, aku masih tetap begini-begini terus. Nggak kaya, nggak miskin. Ini yang aku senang dari kamu Roima, kamu apa adanya. Tidak pernah menjilat seperti yang lain-lain. Bleki nggak terhitung. Dulu buntut, sekarang juga masih tetap buntu. Kita memang harus kerja lebih keras lagi. Kumis harus jadi kepala bandit nasional, kepala bandit internasional. Baru jadi salah satu kepala bandit di DKI sudah bangga dan puas. Tidak boleh, tidak boleh. Kumis harus kerja lebih keras lagi. Ya lebih keras lagi. Hahaha... (PERGI KELUAR DIIRINGI BLEKI DAN ROIMA)


LAMPU BERUBAH



DELAPAN BELAS


(SEBUAH MONUMEN DENGAN JAM DARI RUMPUT, BENDERA-BENDERA DAN AIR MANCUR WARNA-WARNI. TUKANG SULAP MUNCUL, DAN SEPERTI BIASA IA LANGSUNG MENJAJAKAN DAGANGANNYA).

T.SULAP: Demi Tuhan, saudara-saudara, kecoa itu berbahaya. Apa belum pernah baca buku? Sesudah perang nuklir, mahluk yang masih hidup cuma sebangsa kecoa. Artinya, jenis spesies ini punya daya tahan luar biasa. Coba buka buku sejarah ilmu hewan, kecoa termasuk binatang purba yang tetap ada meski bumi telah melewati zaman Trias, zaman Jura, zaman kapur, zaman es hingga sekarang. Kecoa adalah serangga kuno yang ulet. Hidup di tempat-tempat yang gelap. Keluar pada malam hari dan mencuri apa saja yang bisa dia curi. Jadi percayalah pada saya, basmilah kecoa, belilah obat semprot saya. Saya betul-betul sedih, karena di mana-mana diusir. Orang-orang miskin menganggap saya sinting, orang kaya mencurigai saya. Ke mana saya harus pergi? Masa harus ke DPR? (JULINI MASUK, MENUNGGU DI DEPAN JAM RUMPUT)

JULINI: Apa lihat-lihat? Nggak, nggak mau beli obat anti kecoa. Saya sendiri kecoa. Masa mau beli obat anti saya?

T. SULAP: Sudah bisa ditebak. Begini. di mana-mana selalu begini. Penolakan, selalu penolakan. Tapi saya tidak akan putus asa. Jesus juga ditolak oleh bangsanya sendiri. Saya akan tetap berjuang. (PERGI) Obat semprot anti kecoa, manjur dan berguna. Dengarkan saya, revolusi kecoa sudah dekat, belilah antinya sebelum terlambat. Obat semprot anti kecoa...(PERGI) (ROIMA DATANG BURU-BURU)

JULINI: Bang..

ROIMA: Aku buru-buru, tidak bisa lama. Bilang saja langsung ada perlu apa. Kalau perlu uang, ini uang. Saya banyak kerja.

JULINI: Aduh, abang. Begitu rendahnya abang menganggap saya. Uang, dalam keadaan kita yang sudah begini, apalah artinya uang. Julini butuh perhatian, abang, Julini butuh kasih sayang. Tapi sekarang abang jarang di rumah, kerja melulu. Kalau nanti ada affair, jangan salahkan Julini. Orang serong biasanya karena kesepian. Julini kesepian. Kasur kita makin lama makin dingin, abang. Karena abang jarang tidur di rumah. Ke mana? Kita makin jarang diskusi dua-duaan. Mengapa? Why?

ROIMA: Jangan ngaco ah, sontoloyonya keluar lagi. Kamu kan tahu, aku kerja. Untuk kamu. Nasib kita sekarang lebih baik dibanding dulu. Rokmu bagus-bagus, tidak bau seperti dulu. Kau bisa pakai kalung, gelang, cincin, biar cuma imitasi. Semua itu karena aku kerja.

JULINI: Tapi kita nggak pernah piknik lagi. Kita nggak pernah pacaran lagi di bawah cahaya bulan. Abang nggak pernah lagi bilang sayang sama Julini. Mengapa? Why? Apa abang sudah punya pacar lagi? Bilang terus terang, bilang.

ROIMA: Jangan edan lagi. Aku buru-buru, waktuku sedikit.

JULINI: Sekarang abang bisa bilang waktuku sedikit. Padahai dulu, kita bisa 24 jam tidur-tiduran di rumput memandangi langit. Sekarang, pagi abang tidak ada, katanya kerja, siang juga. Malam, Jangan dihitung. Sekarang sore-sore, baru jam... jam berapa? (MELIHAT JAMNYA, MELIHAT JAM RUMPUT) Ngaco jamnya. Jam saya jam 5.15 (JAM RUMPUT MENUNJUKKAN WAKTU PUKUL 19.30). Jam abang?

ROIMA: Jam enam.

JULINI: Mana yang benar?

ROIMA: Pasti jam itu yang betul, karena dibikin oleh Pemda.

JULINI: Abang, mengapa sikap abang berubah. Kasihanilah Julini, yang tetap setia apa pun yang terjadi.

ROIMA: Aku tidak berubah goblok, aku kerja. Aku ingin jadi orang kaya, supaya tidak ada lagi yang bisa menghinaku. Aku tidak ingin terus menerus hidup di got. Aku ingin punya rumah; bukan rumah-rumahan seperti yang kita punya sekarang. Kandang anjing bapak pejabat jauh lebih bagus dari rumah kita.

JULINI: Saya setuju, tapi mengapa Julini harus dilupakan.

ROIMA: Kamu harus paham. Sedikit berkorban demi masa depan. Ini semua untuk masa depan kita berdua. Ini uang (PERGI).

JULINI: Abang. Sekarang makin susah dipegang buntutnya. Dulu, waktu masih miskin selalu pamit ke mana pun perginya. Kalau begini jadinya, aku lebih suka memilih tetap seperti dulu. Ya nabi, ya nabi, mengapa akhirnya jadi begini (MENANGIS, MENYANYI)


JULA-JULI KUMBANG MERANA


KENANGAN INDAH SELALU MENGGODA

KESAN MANIS SULIT DIKIKIS

PELUK HANGAT DAN CIUMANNYA

LIRIK MATA DAN SENYUM MADUNYA

BUJUK RAYU DAN MANJANYA

SULIT DILUPA, ADUH, SULIT DILUPA


PADAMU ANGIN KUHARAP JASAMU

SAMPAIKAN PESAN DAN SALAM MANISKU

BUNGKUSKAN RINDU, BERIKAN PADANYA

SETIAP MALAM HANYA DIA YANG KUKENANG

SETIAP KATA HANYA NAMANYA YANG KUEJA

DI SETIAP CERMIN HANYA WAJAHNYA YANG ADA


OH, MAKIN DILUPA MAKIN MENGGODA

MAKIN DIBUANG MAKIN TERKENANG

MATAHARI PERGI, MATAHARI DATANG

SENJA JATUH MALAM PUN DATANG

KINI HANYA ADA AIR MATA

DAN DUKA LARA DI DADA


INI LAGU JULA-JULI KUMBANG MERANA

LAGU CITA KASIH TAK SAMPAI

INI LAGU JULA-JULI KUMBANG MERANA

LAGU RUMAH TANGGA TERBENGKALAI


Sialan. (MEMBUANG UANG PEMBERIAN ROIMA) Uang diperlukan, kasih sayang jauh lebih dibutuhkan. Tapi uang juga tetap diperlukan. (MENGAMBIL UANG YANG DIBUANG, LALU PERGI DENGAN SEDIH)



SEMBILAN BELAS


DISEBUAH SUDUT. MALAM. TIBAL MARAH-MARAH. TUMINAH MENANGIS, ROIMA SIAP SIAGA.


TIBAL: Bangsat. Bajingan. Cacing. Tidak punya sikap. Lemah. Lalu untuk siapa aku membunuh orang? Untuk apa? Untuk siapa aku dipenjara? Untuk apa? Anjing. Sialan. Lebih baik kamu kubunuh sekalian.

TUMINAH: Kang..

ROIMA: Sabar, Tibal. Sabar.

TIBAL: Jangan ikut campur urusan orang.

ROIMA: Ini urusan kita semua. Tuminah pernah menolongku, aku wajib melindunginya.

TIBAL: O, itu sebabnya kamu tetap jadi cabo, karena sudah punya pelindung? Apa lelaki ini yang menyuruhmu menjadi cabo?

TUMINAH: Bukan. Akang harus dengar dulu ceritaku. Selama akang ada dalam penjara, dari mana aku bisa hidup? Siapa mau menanggung aku? Masa depanku sudah lumat, tapi aku tidak ingin ikut lumat. Aku harus bisa berdiri, biarpun untuk itu harus jadi cabo. Itu satu-satunya jalan sesudah semuanya buntu. Akang boleh marah, tapi coba pikir lagi dalam-dalam, apa yang bisa dikerjakan perempuan bodoh macam aku? Sendiri, di Jakarta. Pulang ke kampung? Di mana kampung kita. Aku sebatang kara.

TIBAL: Cerita kuno. Gombal. Seperti dalam film. Gampangan. Hidup susah, lalu jadi cabo. Tuhan memberi kita banyak jalan. Jadi cabo cuma salah satu di antaranya. Kalau kita mau, kita bisa tidak jadi cabo. Kenapa kau pilih yang satu itu?

ROIMA: Tuhan memberi kita banyak jalan, kalau mau kau bisa tidak membunuh orang dan tidak masuk penjara. Kamu sendiri tidak punya tanggung jawab, Tibal. Kamu mau menang sendiri. Mentang-mentang kamu Ielaki. Coba sekali-sekali jadi perempuan, jadi Tuminah, Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan.

TIBAL: Aku membunuh untuk Tuminah. Apa saja yang kukerjakan semuanya untuk Tuminah.

ROIMA: Tidak. Kamu hanya memikirkan diri sendiri.

TIBAL: Diri sendiri bagaimana?

ROiMA: Kamu pikir Tuminah ingin terus-terusan jadi pelacur? Dia juga punya cita-cita. Sekarang dia sudah bisa berdiri sendiri. Kamu datang lagi untuk apa. Untuk mengobrak-abrik nasibnya lagi? Yang lewat biarlah lewat, yang ada di depan kita sekarang yang paling penting. Bisa saja kau bunuh Tuminah, lalu kau masuk penjara lagi. Kemudian, semua itu untuk apa? Kita orang kecil, Tibal. Kita selalu kalah. Kita akan lebih kalah kalau kita kalap. Orang-orang yang sudah mengalahkan kita adaiah orang-orang kalem, semua langkah dihitung. Kalau mau menang, kita juga harus kalem. Semua langkah dihitung. Kalau perlu, licik juga tidak apa-apa. Pakai siasat.

TIBAL: (MENANGIS) Jadi jerih payahku selama ini sia-sia. Orang tidak menganggap pengorbananku sebagai sesuatu yang penting. Sial, sial, sial ...

TUMINAH: Kang. aku tetap menganggap mulia pengorbananmu. Kita bisa mulai dari bawah, kalau akang mau. Simpananku sudah banyak.

TIBAL: Tidak, Aku tidak mau ikut-ikutan makan uang lendir. Roima betul, kita memang ditakdirkan untuk kalah. Apa saja usaha kita, tetap akan kalah. Jadi aku tidak peduli lagi. Aku punya rencana sendiri. Sudah kadung. Begini kalah, begitu kalah. Lebih baik nekad. Selamat tinggal Tuminah..

TUMINAH: Mau ke mana? Aku bisa berhenti jadi cabo mulai besok. Kita bisa pergi ke mana kita suka. Kita bisa bersama-sama lagi.

TIBAL:: Penjara, bukan penjara, sama saja. Tempat untukku sudah dipastikan. Roima, kalau kamu senang sama Tuminah, jaga dia baik-baik. Aku pergi.. (LARI KELUAR)

TUMINAH: Kang.. Roima, dia pergi. Aku takut dia akan berbuat sesuatu.

ROIMA: Sudah bisa ditebak apa yang akan dia lakukan. Mencegah sia-sia.

TUMINAH: Dia mau apa, bilang Roima, dia mau apa?

ROIMA: Siapa yang sudah menghancurkan hidup kalian?

TUMINAH: Kumis.

ROIMA: Ya, Kumis. Dia akan menemui Kumis.

TUMINAH: Akan dia bunuh Kumis?

ROIMA: Mungkin.

TUMINAH: Bukan Kumis yang akan terbunuh tapi Tibal. Kumis punya banyak anak buah. Kita harus mencegahnya.

ROIMA: Percuma.

TUMINAH: (MEMELUK ROIMA) Roima, kita harus bikin apa. Duh Gusti Pangeran, kita harus bikin apa?

ROIMA: (MEMELUK TUMINAH) Kita harus pura-pura tidak tahu apa-apa.

(TUMINAH MENANGIS DALAM PELUKAN ROIMA. ROIMA MENGELUS-ELUS RAMBUT TUMINAH. PADA SAAT ITU, JULINI MUNCUL LANGSUNG CEMBURU)

ROIMA: Jangan kuatir, aku akan selalu ada di dekat kamu. Melindungi kamu, selamanya.

JULINI: Melindungi kamu, melindungi kamu, aduh-aduh-aduh, Melindungi kamu. Lalu Julini bagaimana? Habis sudah semuanya, dunia kiamat, bumi ambles, langit runtuh, bintang-bintang pada jatuh. Aduh-aduh-aduh. Julini patah hati, dibuang ditendang, didepak, didorong jatuh ke jurang.

Ini yang dibilang abang kerja keras, ngelonin cewong. Ini yang dibilang abang sibuk, padahal pacar-pacaran. Kiamat, kiamat, kiamat. Lelaki mana lagi yang musti Julini percayai. Semuanya kambing, badak, kecoa, kodok.. Aduh, aduh, aduh. Kiamat, kiamat, kiamat...(LARI SAMBIL MENANGIS)

ROIMA: Jul, tunggu. Julini. (PADA TUMINAH) Pergilah ke mbak Tarsih, kita ketemu di sana. Aku bereskan dulu Julini. (LARI MENGEJAR JULINI) (TUMINAH TERCENUNG)

JULINI: (MUNCUL LAGI) Tega kamu ya Tuminah, tega jadi musuh dalam selimut. Tega nonjok dari pantat. Kiamat, kiamat; kiamat. Tidak kusangka. tidak kuduga, pacarku direbut sahabatku sendiri. Sial, sial. Aduh, aduh, aduh...(PERGI) (TUMINAH BETUL-BETUL TIDAK TAHU HARUS BILANG APA)


LAMPU PADAM



DUA PULUH


RUMAH JULINI, SEKARANG AGAK MENDINGAN. TIDAK DI TEMPAT KUMUH LAGI. PERTENGKARAN ANTARA ROIMA DAN JULINI.

ROIMA: Dengar dulu. Diam, goblok, diam.

JULINI: (MENANGIS, MENYANYI, BERTERIAK) Mengapa lupa masa-masa sengsara. Begitu kaya, cari pacar yang lebih muda. Mengapa lupa sumpah setia kita. Begitu kaya, hancur berantakan semuanya. Memang begini nasib para bencong di dunia. Cuma jadi bakiak. Begitu sudah rongsokan, langsung ditendang.

ROIMA: Cerewet. Kamu ‘kan tidak tahu apa-apa. Semua itu..

JULINI: Memang Julini cerewet, Julini tidak tahu apa-apa. Julini goblok. Julini tidak pernah bisa memuaskan abang di ranjang. Tapi Julini cinta setengah mati sama abang. Masa itu tidak bisa abang rasakan? Remuk sudah hati ini, pecah berkeping-keping, jadi abu, langsung lenyap ditiup angin. Aduh, sakit-sakit-sakit. Perih. Mana golok, pisau, silet, lebih baik Julini bunuh diri.

ROIMA: Tenang, tolol, tenang. Diam.

JULINI: Mana obat semprot anti kecoa, lebih baik Julini minum, makan sampai botol-botolnya. Mana obat semprot anti kecoa.. (TUKANG SULAP MUNCUL TlBA-TIBA)

T. SULAP: Ini, ini obat semprot anti kecoa. Butuh berapa botol? Beli dua dapat tiga. Ditanggung manjur.

ROIMA: Setan, aku bunuh kamu. Pergi Minggat. Aku bunuh kamu.

T. SULAP: (LARI) Toloong, aku mau dibunuh. Mau dirampok (PERGI).

JULINI: Kurang apa Julini, kurang apa? Julini pelihara abang sedari abang masih kere. Julini cukupi semuanya. Apa saja yang abang mau. Julini kasih. Celana jin, kaus genggang, sepatu bitel, kacamata rayban, baju arrow, semua. Minyak rambut selalu Julini belikan yang paling mahal. Obat pewangi ketek, shampo Madonna. Semua. Julini rela cuma makan pakai kecap, asal abang makan pakai empal. Abang minta tempe bacem, Julini masak tempe bacem setiap hari. Kurang apa?

ROIMA: Ini bagaimana sih, mau dengar aku bicara enggak?

JULINI: Enggak. Di ranjang, abang minta gaya apa saja, Julini kasih. Biar Julini kecapean, asal abang nyolek, Julini langsung siap sedia. Kurang apa? Kalau sudah begini, Julini nggak bakal mau lagi lihat matahari. Mana tambang, tali, lebih baik Julini gantung diri.

ROIMA: Goblok, sinting. Bikin marah orang saja. Setan. (MENEMPELENG JULINI. JULINI KAGET TERKESIMA)

JULIN: Dan abang sudah berani menempeleng saya. Betul-betul sudah kiamat, tadinya saya pikir cuma setengah kiamat. Kita cerai, cerai. Kasih Julini talak tiga.

ROIMA: Kamu tahu kenapa aku dulu tidak mau meneruskan upacara perkawinan Kita? Aku sudah bilang sama kamu, biar bagaimana juga kita tidak mungkin bisa jadi suami istri. Kita sama-sama lelaki. Kita tidak akan bisa punya anak. Waktu itu kamu sudah mau mengerti. Kenapa sekarang jadi begini lagi. Dan aku lelaki, lelaki, yang masih bisa tergiur kalau melihat wanita telanjang. Aku lelaki, bukan banci.

JULINI: Julini memang banci. sejak dulu abang tahu Julini banci. Tapi kalau abang benci kenapa tidak dari dulu-dulu. Kenapa tega terus menerus jual abab, jual rayuan pulau kelapa. Itu kan sama dengan menipu. Kalau dulu abang tidak mau, Julini bisa pelihara jigolo lain. Masih banyak kebo-kebo yang mau kumpul sama Julini. Sekarang abang bilang begitu, sekarang setelah abang jaya. Setelah abang ketemu sama Tuminah. Setelah abang tahu anunya Tuminah lebih lezat.

ROIMA: Ini bukan persoalan anu, sinting. Ini lain.

JULINI: Sama. Pengkhianat cinta. Kita cerai, cerai, cerai..(MENGEMASI BARANGNYA DAN PERGI)

ROIMA: Ke mana?

JULINI: Ke neraka jahanam, apa peduli abang. (LARI)

ROIMA: Jul, Julini. Setan. (AGAKNYA IA MENYESAL JUGA)


LAMPU BERUBAH



DUA PULUH SATU


SEBUAH TEMPAT PELACURAN BAGI PARA BANCI

SEKELOMPOK BANCI SEDANG MENDENGARKAN PIDATO SEORANG PETUGAS YANG PERNAH DATANG JUGA KE TEMPAT TARSIH. PARA BANCI ITU NAMPAKNYA SEDANG MARAH. SUASANA TEGANG.


PETUGAS: Dengar saya, mbak-mbak, dengar saya. Yang tidak mau mendengar pasti menyesal. Ini penting untuk masa depan mbak-mbak. Penting. Setiap hari, saya yakin, mbak-mbak pasti bercermin. Coba sekali waktu perhatikan wajah kalian. Apa tidak pernah punya rasa malu?

BANCI-1: Punya kok, cuma nggak pernah dipakai. Hanya dipakai kencing.

PETUGAS: Ini bukan guyonan. Ini penting. Dalam rangka pembangunan mental, segala prilaku yang menyinggung perasaan akan disikat habis. Apalagi perilaku yang amoral, seperti kalian. Menjadi banci saja sudah dosa, apalagi sekalian menjadi pelacur.

BANCI-2: Banci itu kodrat. Pernah baca buku nggak?

PETUGAS: Kodrat, tapi kan tidak harus jadi pelacur?

BANCI-3: Jangan main-main pak, saya ini dwifungsi lho. Siang jadi tukang becak, malam hari ngebanci untuk cari tambahan. Anak saya lima, istri saya tahu kerja saya kalau malam apa.

PETUGAS: Apa tidak bisa kerja lain?

BANCI-3: Bisa. Merampok. Tapi 'kan dilarang?

PETUGAS: Melacur juga dilarang, tahu nggak? Dan saya datang untuk memperingatkan kalian, mumpung masih ada waktu.

(ROIMA DATANG, TANYA SAMA BANCI-4)

ROIMA: Lihat Julini?

BANCI-4: Sedang dibooking.

ROIMA: Kemana?

BANCI-4: Pergi tadi naik mobil tahu ke mana. Kok cari Julini terus, sekali-sekali dong cobain kita, supaya ada variasi.

ROIMA: Sial. Jangan main-main. Kalau datang, bilang saya nanti ke mari lagi.

BANCI-4: Ya, mas Roima. (ROIMA PERGI, PETUGAS TETAP PIDATO)

PETUGAS: Sadarlah kalian. Kalau jadi banci memang sudah kodrat, baiklah. Tapi jangan mau jadi begini. Ini maksiat. Dalam pembangunan, segala yang berbentuk kemaksiatan, haram hukumnya.

BANCI-1: Eh, si mas apa sih? Kalau mau pakai salah satu dari kita, pakai saja. Nggak usah banyak omong. Punya duit nggak?

PETUGAS: Beberapa tahun lagi, di tempat ini akan didirikan pangkalan bus. Saya datang hanya mengingatkan, agar kalian siap-siap, mumpung waktunya masih panjang.

BANCI-2: Ya biar saja, kita bisa pindah ke tempat lain.

PETUGAS: Praktek-praktek semacam ini akan dilarang. Jika masih saja dilanggar, hukumannya berat. Kalian harus insyaf mulai skarang.

(JULINi MASUK, WAJAHNYA MASIH MURUNG)

JULINI: Ada apa sih?

BANCI-5: Si mas itu lagi belajar pidato.

PETUGAS: Wahai para banci, ingatlan neraka jahanam, janganlah terus menerus menumpuk dosa. Sebagai wabah, kalian harus sadar, perilaku macam itu bisa menular.

JULINI: Mas jangan menghina ya? Kita bukan penyakit. Kita parkir, orang-orang datang. Semuanya sukarela. Tak ada paksaan. Nggak doyan kita juga kita nggak apa-apa.

BANCI-3: Betul, jangan-jangan dia ini petugas gadungan. Tampangnya saja tidak meyakinkan. Barangkali dia ini anteknya orang-orang yang gemar bikin rusuh.

BANCI-1: Betul. Petugas asli biasanya tidak banyak omong. Datang, kasih surat, langsung dor. Maksud saya diborgol.

BANCI-4: Kita rojer saja.

BANCI-2: Ganyang.

BANCI-3: Betot anunya.

(SEMUANYA JADI TERPENGARUH. DUA SATPAM BERJAGA-JAGA DENGAN PESTOLNYA. PETUGAS AGAK KEDER JUGA)

PETUGAS: Tenang, tenang, dengar dulu.

BANCI-3: Ini daerah kita. Minggat kamu.

BANCI-1: Hantam saja.

BANCI-2: Bunuh.

(DAN KERIBUTAN ITU PUN TERJADI. PETUGAS DIKEROYOK OLEH BANCI-BANCI. HANYA JULINI YANG BENGONG. SATPAM KEDER)

PETUGAS: Tolong mas Satpam, tolong. Pakai pestolnya. Jangan bengong.

(SATPAM MENURUT DAN DOR TERDENGAR DUA KALI. SEMUA BUBAR. JULINI NAMPAK MEMEGANG DADANYA. DIA MERASAKAN DARAH MENGALIR. KAGET. LIMBUNG)

JULINI: Darah, Astaganaganaganya. Darah. Aduh, darah. Ini darah betul apa saus tomat. Darah. Betul-betul darah. Julini mampus dah, kiamat dah. (ROIMA NONGOL KETIKA JULINI LIMBUNG)

SATPAM-1: Saya jadi pembunuh. Peluru itu datang dari pestol saya. Tidak pasti dari pestol kamu.

SATPAM-2: Bukan, dari pestol kamu. Kamu pembunuh.

ROIMA: Julini. Jul.

JULINI: Bang, abang cari Julini ya? Abang masih cinta sama Julini?

ROIMA: Jangan banyak omong, kita ke rumah sakit. Lukamu parah.

JULINI: Nggak ada waktu lagi. Julini pengen mati seperti dalam adegan-adegan film, bang. Julini pengen mati dipeluk sama kekasihnya. Pada saat-saat begini abang ada di dekat Julini, aduh bahagianya.

ROIMA: Cerewet, jangan banyak omong. Darahnya makin banyak keluar.

JULINI: Tidak peduli. Pokoknya Julini bahagia betul. Good bye abang, good bye kawan-kawan seperjuangan. Julini pergi dulu. Di akherat nanti Julini mengadukan nasib kita, mengadukan penderitaan kita. Penonton, Julini mati dulu ya? Wonderful. (JULINI MATI) (ROIMA MENATAP DUA SATPAM DAN PETUGAS. BEGITU JUGA BANCI-BANCI. MEREKA BERSIKAP MENYERANG. MAJU PELAHAN)

PETUGAS: Lari! (LARI, DIIKUTI SATPAM-SATPAM)

(PARA BANCI HENDAK TERUS MENGEJAR, TAPI KEMBALI LAGI MELIHAT ROIMA DIAM DAN TERCENUNG DI DEPAN MAYAT JULINI)

BANCI-1: Jadi bagaimana ini, mas Roima? Bagaimana?

ROIMA: Kenapa harus dia?

BANCI-5: Ya, kenapa harus dia? Julini tidak ikut-ikutan mengeroyok, Dia diam saja, kok pelurunya malah nyasar ke dadanya.

BANCI-3: Ini tidak bisa kita diamkan. Kita harus lapor kepada Gubernur, kalau perlu ke DPR. Ingat tragedi Kali Malang? Sekarang terjadi lagi. Kita tidak ingin hal ini terjadi berulang kali. Kita warga negara juga, punya ktp dan membayar pajak. Kita harus lapor. Julini orang baik, dia sahabat kita semua, suka menolong, Dia orang baik.. (MENANGIS). (PARA BANCI IKUT-IKUTAN MENANGIS HARU. SUARA MEREKA RIUH RENDAH. ROH JULINI HINCIT DARI RAGANYA DAN PINDAH TIDUR KE TEMPAT LAIN)

JULINI: Ribut amat. Kalau banci-banci menangis, kerasnya bukan kepalang. Mulutnya pada dower, kebanyakan olah raga. (TIDUR)

BANCI-1: Julini pahlawan kita.

BANCI-2: Kebanggaan kita.

BANCI-4: Idola kita. Dia the best bencong tahun 1985.

BANCI-3: Kesadisan macam ini harus kita stop. Mentang-mentang kita tidak punya deking, kita diburu-buru, digencet, dibunuhi.

ROIMA: (BERTERIAK) Kita berangkat ke rumah pak pejabat.

(SEMUANYA MENYATAKAN SETUJU).

BANCI-3: Tunggu. Kita harus catat hari ini sebagai peristiwa bersejarah untuk para bencong, baik yang profesional maupun yang amatir. Kita jadikan hari ini hari bencong nasional. Kita bikinkan patung Julini di sini, agar bisa menjadi peringatan untuk generasi bencong selanjutnya: bahwa di sini pernah terjadi tragedi berdarah. Julini jadi korban.

ROIMA: (BERTERIAK) Kita berangkat ke rumah pak Pejabat.

BANCI-1: Julini primadona kita.

BANCI-2: Cermin nasib kita.

BANCI-3: Mengapa harus mati, mengapa, oh mengapa?


LAMPUBERUBAH



DUA PULUH DUA

RUMAH PAK PEJABAT, ROIMA, JULINI DAN PARA BENCONG. PAK PEJABAT YANG KITA KENAL SELAMA INI.

PEJABAT: Bawa masuk, mereka yang mau menghadap.

ROIMA: Kami semua sudah ada di sini. pak.

PEJABAT: O iya, oo, kamu to? Kalian. Langsung saja apa yang kalian mau laporkan, waktuku sempit.

ROIMA: Dia hanya ingin hidup, dia tak pernah mengganggu orang, tak pernah memaksa. Apa yang selama ini dia lakukan hanyalah upaya agar dia tidak kelaparan. Coba tunjukkan cara lain untuk bisa memperoleh penghasilan. Coba tunjukkan, tunjukkan. Tak pernah ada jawaban. Yang ada hanya pidato, pidato dan pidato. Apa hanya dengan pidato-pidato saja dia, kami, bisa kenyang? Dia bekerja, banting tulang memeras keringat. Kemudian dia dapat uang.

Dia memang cabo, itu karena dia tidak mungkin jadi sekretaris. Keahliannya cuma memijat. Dia memang cabo, tapi bukan berarti dia tidak ingin jadi direktris. Nasib melemparkan dia ke dalam got, dan sampai tua dia akan tetap ada di dalam got, berhimpitan dengan kutu dan kecoa. Kami orang-orang kecil. Masalah kami hanya masalah perut. Tapi mengapa dia yang harus ditembak mati? Dia memang cabo, tapi ternyata banyak orang yang membutuhkannya. Tapi dia yang kemudian dikejar-kejar, bukan mereka, bukan orang-orang yang datang. Jika ada jalan untuk jadi baik, kami akan ikuti jalan itu. Asal jangan jalan yang penuh pelor dan bedil.

PEJABAT: Betul. Baik. Jadi maunya apa?

ROIMA: Kami menuntut tindakan adil bagi penembaknya.

BANCI-1: Bikinkan monumen Julini.

BANCI-4: Plaza.

BANCI-2: Medali penghargaan.

BANCI-5: Jadikan nama jalan.

(LALU SEMUA BEREBUT UNTUK MENYATAKAN PENDAPATNYA)

PEJABAT: Diam semua. Baik. Laporan kalian akan kami pelajari, dan tunggu sampai kami selesai memproses kasus ini. Yang salah tentu tidak akan luput dari hukuman. Soal lain-lain, tunggu putusan.

ROIMA: Berapa lama kami harus menunggu, pak?

PEJABAT: Percayakan pada saya. Saya ini pemimpin karena dipilih oleh rakyat, saya bukan pemimpin droping. Saya selalu menyelesaikan setiap kasus dengan tuntas dan adil. Paham? (SEMUA DIAM)

Pergilah sekarang. Banyak tamu-tamu lain yang mau menghadap. Silahkan. (SEMUA PERGI DENGAN LANGKAH TAK PASTI)

PEJABAT: Masuk, goblok, (PETUGAS DAN DUA SATPAM MASUK DENGAN MUKA PUCAT). Kalian memang goblok, kerja pakai dengkul, bukan pakai otak. Kalau sudah begini apa yang harus kita lakukan? Mau masuk penjara, hah?

SATPAM-1: Nggak pak. Tapi kami disuruh pak petugas untuk menembak.

PEJABAT V: Menembak boleh, tapi tidak usah pakai pestol. Tembak pakai tangan, kaki, pentungan. Kamu 'kan lebih ahli.

PETUGAS: Tapi mereka mulai beringas, pak.

PEJABAT: Gertak. Orang yang mau rame-reme biasanya penakut. Kita boleh ringan tangan asal jangan ringan pestol. Bahaya.

(SATPAM-2 KELUAR RUANGAN, KEMUDIAN MASUK LAGI)

SATPAM-2: Pak, ada lima wartawan ingin menghadap bapak.

PEJABAT: Mau apa mereka?

SATPAM-2: Katanya mau menanyakan kejelasan peristiwa penembakan banci-banci.

PEJABAT: Banci-banci? Sudah jadi banyak, padahal yang mati cuma satu. Astaga, kalau wartawan sudah tahu celaka kamu.

PETUGAS: Celaka kita, pak.

PEJABAT: Ya, kita semua, goblok. Bilang, bapak sedang demam. Nanti dikabari lagi kapan bisa menghadap.

SATPAM-2: Baik, Pak. (KELUAR)

PEJABAT: Belum lagi 24 jam, dunia sudah ribut. Susah jadi pejabat. Padahal ini bukan kesalahan saya. Ini kesalahan oknum.

SATPAM-2: (MASUK LAGI) Pak, koran sore. Memuat lengkap reportase peristiwa penembakan Julini.

PEJABAT Kurang-sambel, begitu cepatnya jadi berita? Lihat, lihat. Aduh, ini foto bisa menggugah kemarahan orang. Bagaimana mereka bisa mengambil foto sesadis ini? Perkembangan peristiwa ini terlalu cepat. Saya curiga jangan-jangan sebelumnya sudah ada skenarionya. Apa banci itu betul-betul mati?

SATPAM-1: Betul pak, saya lihat sendiri.

PEJABAT: Aduh, jadi bagaimana kita. Salah kalian, tapi pasti aku yang kena. (MEMBACA KORAN) Teman-teman Julini menuntut Julini dipatungkan. Tuntutan itu didukung oleh... sialan ini tokoh, selalu mencari ikan di air keruh. Dia mendukung, mendopleng popularitas. Ini lawan politikku.

PETUGAS: Kalau boleh saya usul pak, agar kita nampak simpatik di depan rakyat, sebaiknya apa saja tuntutan itu kita penuhi. Minta dibikin monumen, kita bikin. Minta dibikinkan patung, kita bikin. Apa saja. Keuntungannya banyak, Pak. Satu, kemarahan. mereka bisa reda. Dua, kita malah bakal disanjung sebagai pejabat yang tanggap pada hati nurani rakyat.

PEJABAT: Betul itu, patung, monumen, sontoloyo, itu memang keahlian kita. Dan sekarang, minggat kalian, aku tidak sudi lagi lihat muka kalian. Minggat. Sial. (SEMUA PERGI)

(SATPAM-2 MASUK LAGI)

SATPAM-2: Pak, wartawan-wartawan itu tidak mau pergi.

PEJABAT: Cari jalan agar mereka pergi. Usir.

SATPAM-2: Pakai apa pak, pentungan atau pestol?

PEJABAT: Minggat, pakai apa saja, asai jangan pakai pestol lagi. (SATPAM-2 PERG!)

Peristiwa ini bisa menghancurkan reputasiku. ...

SATPAM-2: (MASUK LAGI, GEMETAR)

PEJABAT: Mau apa lagi?

SATPAM-2: Persatuan sarjana hukum datang minta menghadap, ketua umum PWI, Persatuan Waria Indonesia juga. Lalu ada wakil dari Lembaga Bantuan Hukum dan dari Yayasan Lembaga Konsumen, serta wakil dari Pencinta Lingkungan Hidup.

PEJABAT: Apa urusan mereka dengan kasus penembakan, Julini?

SATPAM-2: Belum saya tanyakan, pak.

PEJABAT: Pendeknya jam bicara hari ini ditutup. Aku tidak ingin diganggu, aku mau sendirian. Berfikir. Minggat. (SATPAM PERGI) Saya bisa jadi gila, kalau begini terus-terusan. Orang lain yang celaka saya disuruh ikut-ikutan celaka. Jantung saya, darah tinggi saya.

(MINUM PIL BANYAK-BANYAK)

(SATPAM-2 MASUK LAGI)

Apa lagi, kodok?

SATPAM-2: Utusan dari Menteri Sosial, Pak, datang bersama utusan dari Menteri Peranan Wanita.

PEJABAT: (LEMAS) Baik, baik. Kita bikin patung itu, kalau itu yang mereka mau. Kita bikin monumen, patung dan sontoloyo.


LAMPU BERUBAH

MUSIK



DUA PULUH TIGA


SEBUAH PLAZA SEDANG DIBANGUN. SEBUAH PATUNG DIARAK MASUK KE DALAM PLAZA MONUMEN. DIIRINGI MUSIK GEGAP GEMPITA. PATUNG ITU DIGOTONG OLEH PARA WADAM DAN ROIMA. SEMUA CABO-CABO DAN PENGHUNI KAWASAN KUMUH JUGA HADIR. JUGA PEJABAT, PETUGAS DAN SATPAM-SATPAM.

BUNYI MUSIK ITU BAGAIKAN MUSIK TANJIDOR, DENGAN BAND SEDERHANA, MENGIRINGI LANGKAH-LANGKAH MEREKA YANG KHIDMAT. BAGAI UPACARA RITUAL.

PATUNG JULINI DlTARUH Dl TENGAH PLAZA. TEMBAKAN SALVO KE UDARA OLEH SEPASUKAN PENGAWAL LALU PEJABAT MAJU KE DEPAN MIMBAR.

PEJABAT: Setelah melewati perjuangan yang gigih di tingkat atas, alhamdullilah, permintaan saudara-saudara untuk mematungkan tokoh kita ini, akhirnya dikabulkan. Berbulan-bulan lamanya saya berjuang memikirkan bagaimana menyelenggarakan upacara ini agar menyenangkan banyak pihak. Dan tibalah hari yang bersejarah ini. Kita semua bersukur. Sebuah monumen kasih sayang dan cinta, telah berhasil kita bikin. Saya tidak akan berpanjang lebar bicara. ini peristiwa unik. Saya gembira, dan saya harap kalian juga.

SEMUA: Amiin.

PEJABAT: Dengan ini, patung ini saya resmikan.

(TEMBAKANSALVO LAGIKE UDARA, SEORANG PETUGAS MEMBERIKAN GUNTING BESAR KEPADA PEJABAT. PEJABAT MENGGUNTING PITA YANG ADA Dl SITU. TAPI TAK BERHASIL LANTARAN GUNTINGNYA TUMPUL. PADAHAL GUNTING ITU BESAR SEKALI)

PEJABAT: Ganti saja dengan golok. Mana golok.

(PITA AKHIRNYA BERHASIL DIPUTUSKAN DENGAN GOLOK. SEMUA BERTEPUK TANGAN. SELUBUNG PATUNG DIBUKA. ITU MEMANG PATUNG JULINI. MELIHAT PATUNG JULINI, PARA WADAM MENANGIS TERHARU)

PEJABAT: Upacara selesai. Kalau mau menangis, silahkan lanjutkan tangisan dirumah masing-masing. Silahkan bubar.

SATPAM-1: (PADA TUMINAH) Bapak mau ketemu di tempat biasa.

TUMINAH: Boleh.

SATPAM-1: Sekarang.

TUMINAH: Boleh.

SATPAM-1: Mari. (MEREKA PERGI)

(PEJABAT PERGI DULU KE TEMPAT TARSIH, ROIMA MASIH TERCENUNG Dl BAWAH PATUNG JULIN!. SEMUA ORANG PERGI)


LAMPU BERUBAH



DUA PULUH EMPAT


DI TEMPAT TARSIH, PEJABAT MENUNGGU, TUMINAH KEMUDIAN DATANG.

PEJABAT: Tuminah..

TUMINAH: Masku sayang..

PEJABAT: Lama amat, mas sudah kangen sekali. Sudah lama kita tidak mesra-mesraan. Mas belul-betul gemetar tadi, melihat mata kamu, bibir kamu, rambut kamu, pinggul kamu, pendeknya segala yang kamu punya. Semuanya bikin syahwatku bergetar. Rangsang naik ke kepala. Tuminah, mengapa kamu begini cantik? Kita langsung masuk kamar?

TUMINAH: Ada satu permintaan saya mas..

PEJABAT: Minta, minta, kalau sanggup mas akan beri. Tapi cepat bilang, mas sudah kebelet..

TUMINAH: Saya minta jaminan, tempat ini tidak akan diapa-apakan.

PEJABAT: Saya jamin, saya jamin, sudah? Apalagi?

TUMINAH: Saya minta jaminan tertulis.

PEJABAT: Saya akan tulis, saya akan tulis. Sudah?

TUMINAH: Sekarang, mas.

PEJABAT: Sekarang, Tuminah, sekarang. Aduh jangan lama-lama, mas tidak kuat menunggu. Kamu bikin gemes aku saja. Saya gigit kamu, saya makan, saya kremus sampai lumer. Eh, lumat.

TUMINAH: (BERSERI) Jangan kasar-kasar dong mas, yang halus, yang penuh dengan kasih sayang. Kalau terlalu kasar, nanti jantung mas tidak kuat.

PEJABAT: Ya, kita masuk kamar?

TUMINAH: Boleh, tapi jangan lupa surat jaminan itu.

PEJABAT: Jangan lupa, ya. jangan lupa. Ayo.

(MENYERET TUMINAH MASUK KAMAR)

(TARSIH NONGOL DIAM. TUMINAH KELUAR LAGI)

TUMINAH: Dengar semua pembicaraan kami mbak Tarsih?

TARSIH: Dengar.

TUMINAH: Bisa tenang sekarang? Rumah kita nggak bakal digusur lagi. Kitajmnya deking sekarang. Kita tidak bakal diusir lagi.

TARSIH: Terima kasih, Tuminah.

PEJABAT: (DARI DALAM) Tuminah, ayo dong, masa mas sudah begini kamu tinggal? Nanti masuk angin.

TUMINAH: Ya, ya. Saya datang.

(TAWA PENUH SYAHWAT TERDENGAR, JERIT-JERIT KECIL, NAFAS-NAFAS MENGGEROS DAN BUNYI RANJANG)

(TARSIH TERCENUNG. MALAM SEPI SEKALI)


LAMPU BERUBAH



DUA PULUH LIMA


MONUMEN JULINI-PLAZA

ROIMA MASIH TERCENUNG, BICARA SENDIRIAN.


ROIMA: Dan pada detik-detik akhir hidupku. aku telah bersikap kasar. Aku seperti orang yang tidak tahu membalas guna. Aku berniat mencampakkan kamu, membuangmu, padahal kamu begitu baik. Kamu begitu baik, aku jahat. Aku goblok, aku bangsat, aku penipu. Aku menyesal.

JULINI: (BICARA, TENTU SAJA ROIMA TIDAK MENDENGAR) Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.

ROIMA: Demi setan aku memang tertarik pada Tuminah, mungkin dia juga, tapi baru itu. Dan kamu langsung cemburu. Marah-marah. Belum kamu dengar penjelasanku.

JULINI: Ah, cintamu memang seperti “air di daun talas, jatuhnya kepelimbahan juga”. Eh, salah.

ROIMA: Orang kecil macam kita seharusnya tidak bertengkar. Akibatnya selalu akan seperti ini. salah satu dari kita jadi korban.

JULINI: Ya memang, “arang habis besi binasa, pabrik baja bangkrut”.

ROIMA: Aku marah sama kamu, aku marah pada diri sendiri, aku marah pada keadaan, pada nasib, pada semua. Kenapa musti kamu yang jadi korban. Kenapa kamu, padahal kamu tidak berbuat apa-apa? (MENYANYI)


JULA JULI KOKOK MARAH


DAN APA GUNANYA KODOK MARAH

SEMENTARA DUNIA BEGINI BESAR

HANYA BUNYI DENGKUNG DI MALAM HARI

GEMANYA LENYAP TANPA ARTI


MANUSIA CUMA SEKELOMPOK AYAM

SI BESAR BOLEH MEMATUK SI KECIL

SI KECIL MEMATUK YANG LEBIH KECIL LAGI

DAN BEGITU SETERUSNYA,


INI JULA-JULI KODOK MARAH

LAGU ORANG MIMPI, USAHA SIA-SIA

TAPI BUMI HARUS SEGERA DIUBAH

SAMPAI ORANG MISKIN, TAK LAGI ADA


JULINI: Bagai pungguk merindukan datang bulan

(DARI JAUH TERDENGAR TERIAKAN).

OS. KUMIS: Toloong. Jangan, Tibal. Toloong.

OS. TIBAL: Akhirnya kutemukan juga kamu, biang keladi semua ini. Kutemukan kamu. Mampus kamu, mampus.

OS. KUMIS: Jangan, tolooong, jangaaan....

ROIMA: Sialan, aku tidak tegaan. Sialaaan....

(LAR! KE TEMPAT ASAL SUARA)

(JULINI ISTIRAHAT DARI POSENYA)

JULINI: Capek juga jadi patung. Siapa bilang jadi patung itu enak.


(KEMUDIAN DATANG PATUNG-PATUNG DARI SELURUH JAKARTA.

PATUNG DARI PANCORAN.

PATUNG DARI MENTENG RAYA.

PATUNG DARI BUNDARAN HOTEL INDONESIA.

PATUNG DARI PINTU SEMBILAN SENAYAN.

PATUNG DARI LAPANGAN BANTENG.

DAN LAIN-LAIN. SEMUA BERKUMPUL DI SEKELILING JULINI YANG TERBENGONG-BENGONG MELIHAT PERISTIWA ANEH ITU)


JULINl: Lho?

PANCORAN: Ya. saya dari pancoran. Ingin ke antariksa tapi tidak pernah lepas landas. Landasannya sempit banget.

PAK TANI: Saya dari Menteng Raya. Kadang sering heran pada mereka, saya ini pak tani kok diberi bedil. Kan seharusnya pacul? Cara mempergunakan juga tidak bisa. Bisa-bisa disuruh menembak kaki kena kepala.

BU TANI: Saya sering ngeri Iho sama bedilnya. Saya sudah bilang, macul pak, macul. Sawah kita terbengkalai. Lihat bakul saya kosong. Kita semua perlu beras. Eh, selalu dia jawab “ini sudah termasuk program, bu”. Saya nggak pernah ngerti.

P. HOTEL: Selamat datang. selamat datang.

P. SENAYAN: Haaa.. haa. Saya disuruh makan api tiap hari. Coba pikir api. Siapa suka? Baju saja nggak pernah dipikirin. Dikiranya patung nggak bisa masuk angin? Benar-benar kurang kerjaan orang-orang yang bikin kita-kita ini.

L. BANTENG: Ini rantai selalu harus saya bawa. Berat juga lama-lama. Saya lebih suka jadi patung sedang makan kue begitu. Dari pada disuruh teriak tiap hari: bebas, bebas, tapi siapa yang dengar? Ya ‘kan, buktinya sekarang? Bebas, bebas, kenyataannya rantai ini tidak pernah bisa lepas.

JULINI: Jadi oom-oom dan tante-tante ini patung-patung?

P. HOTEL: Setamat datang, selamat datang.

PANCORAN: Begini, sesuai tradisi, setiap ada patung baru didirikan di Jakarta ini, kami harus datang memperkenalkan diri, Kami semua ini dari PPJ, Persatuan Patung Jakarta.

P. SENAYAN: Maaf, tidak semua bisa datang. Sang Pangeran dari Monas, kudanya sedang flu. Kalau naik bus beliau suka muntah. Jadi hanya kirim salam. Oom Gajah Mada juga, tahu kenapa kakinya tiba-tiba bengkak.

PAK TANI: Memang sudah bengkak kok.

P. SENAYAN: Ini lebih bengkak lagi. Mungkin kelamaan berdiri. Pokoknya salam dari semua patung yang tidak bisa hadir.

P. HOTEL: Selamat datang, selamat datang.

BU TANI: Sebetulnya Julini kenapa sih kok sampai dipatungkan segala?

JULINI: Tahu bu. Tiba-tiba saja ada yang nembak. Saya nggak pernah mimpi bakal dijadikan patung. Wong rakyat biasa, bukan tokoh. Harapan saya sih, kalau ada orang menembak seenaknya ya diadililah, supaya jelas perkaranya, Nggak tahu kenapa. yang menembak saya, saya lihat masih tetap bebas berkeliaran. Eh, malah saya yang dijadikan seperti ini. Lucu ya?

PAK TANI: Yang kita alami selama ini selalu lucu, ya bu?

BU TANI: Ya, lihat polisi ngumpet-ngumpel terima prit-jigo, juga saya sering ketawa. Nggak ada yang salah: yang terkena tilang ingin bebas, pak polisinya memikirkan asap dapur. Cuma Iucu saja begitu. Kita sering lihat itu. JUL, sering.

P. SENAYAN: Sebagai patung kita banyak melihat hal-hal, cuma kita tidak bisa omong.

PANCORAN: Kalau bisa omong juga. mana dipercaya. Dikiranya sulapan.

JULINI: Saya belum lihat apa-apa.

L. BANTENG: Nanti kamu akan lihat banyak. Lama-lama kamu bisa frustrasi karena tak bisa omong, seperti kami semua. Kami-kami ini dibikin sebetulnya kan untuk diingat-ingat, bahwa pernah suatu saat ada peristiwa, tapi orang Jakarta mana mau pusing-pusing? Yang mereka ingat cuma asap dapur, bagi yang miskin. Yang kaya, yang dipikirkan cuma bagaimana caranya supaya bisa beli tanah lebih banyak lagi di pinggiran. (TERDENGAR TERIAKAN DARI LUAR)


Ada orang ambil posisi masing-masing.

(SEMUA MENGAMBIL POSISi SEPERTI YANG SUDAH DIPROGRAM)

KUMIS: Toloong, mati aku. Mati. Mana Bleki, Roima.

TIBAL: Mereka boleh datang, tapi kamu tetap harus mampus. Mau lagi? (MENGACUNGKAN PISAUNYA) Percuma teriak-teriak minta tolong. Sudah lama aku mengintip gerak-gerikmu. Mampus.

KUMIS: Aku sudah mampus. Sudah mampus.

TIBAL: Aku ingin lihat bagaimana kamu mampus.

KUMIS: Tibal, tolong aku. Tolong, bawa aku ke rumah sakit. Aku sudah tidak kuat lagi. Darah, darah, aku tidak kuat melihat darah.

TIBAL: Dulu aku pernah minta tolong sama kamu, ingat? Supaya ladangku tidak digusur sebelum panen. Tuminah datang dan menyerahkan kehormatannya padamu. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu gusur juga ladangku, kamu depak juga Tuminah. Janji kamu cuma telek; Ingat, ingat?

KUMIS: Itu bukan kemauanku, semuanya dari atas, sudah diprogram.

TIBAL: Kalau tahu begitu kenapa musti berjanji, kenapa musti kamu makan adikku? Hah? Kenapa? Sebentar lagi kamu mampus dan orang boleh menemukan mayatmu. Paling-paling mereka akan bilang kau kena korban penembak misterius. (KUMIS MATI) Kumis, kumis, mati. Harus kubuang mayatnya ke kali. (MENYERET MAYAT KUMIS KELUAR)


SEPI SEJENAK


BU TANI: (TURUN, MUNTAH-MUNTAH) Mengapa harus dibunuh di sini?

JULIN: Hamil, bu?

BU TANI: Aku tidak pernah kuat lihat darah, hoek, hoek...

JULINI: Ooo.. ada orang..

(SEMUA KEMBALI KE POSISINYA. ROIMA MUNCUL)

ROIMA: Darah, pasti mereka tadi ke mari. (MENGIKUTI JEJAK DARAH, KELUAR)

BU TANI: Hoeek, hoeek..

PAK TANI: Sudah bu, sudah.

PANCORAN: Tempat ini jadi makin ramai, sebaiknya kita pergi. (TIBA-TIBA TONG TONG TER-. DENGAR DI KEJAUHAN. MAKIN LAMA MAKIN RAMAI. ORANG BERTERIAK: KE­BAKARAN, KEBAKARAN, KEBAKARAN,! ORANG PUN RAMAI BERSELIWERAN)

T. SULAP: (MUNCUL) Api, api memang jauh lebih manjur dari obat semprot anti kecoaku. Kecoa-kecoa itu langsung hangus jadi abu. Tapi itu hanya penyelesaian sementara. Nanti mereka akan berkembang biak lagi, jauh lebih banyak lagi. Jauh lebih banyak lagi dan kita kewalahan. Sedangkan obat semprot anti kecoaku ini, sanggup membasmi sampai ke akar-akarnya. Mengapa tidak ada yang mau beii? Beii, beli, beii dua dapat tiga. Yang penting pulang pokok.



DUA PULUH ENAM


RUMAH TARSIH KEBAKARAN, TUMINAH, TARSIH DAN CABO-CABO KEBINGUNGAN.


TARSIH: Tuminah, bagaimana ini? Siapa yang membakar rumah kita?

TUMINAH: Saya tidak tahu mbak, saya tidak tahu. Kita harus tanyakan.

CABO2: Kebakaran, kebakaran...

BLEKI: (LARI-LARI) Bang, bang Kumis. Di mana kamu, bang.


DUA PULUH TUJUH


DAERAH KUMUH JUGA KEBAKARAN.


ASNAH: Aduh, aduh, mengapa, mengapa? Apa salah kita?

ORANG-1: Angkut barang-barang yang masih bisa diselamatkan bu, angkut.

ORANG-2: Gila, tahu-tahu sudah besar. Api. Kebakaran, kebakaran.

KASIJAH: (TETAP MENYANYI) Kita ini ubi, kita ini kerak nasi, kita ini sapi, kita ini babi, kita ini tai, kita ini mimpi....

ORANG-1: Cabo gila itu bagaimana?

ORANG-2: Selamatkan dirimu goblok, lupakan semuanya. (LARI) (API MELAHAP SEMUANYA)

TARSIH: Sertifikat rumahku, surat-surat penting lainnya. Setan, kiamat sudah, kiamat,

TUMINAH: Lari mbak, lari.

TARSIH: (LARI, TAPI KE RUMAHNYA YANG MULAI TERBAKAR) Barang-barang berhargaku. Sertifikat rumahku. Kalau aku tak punya apa-apa, mereka bisa mengusirku seenaknya. Lepaskan. Sertifikat rumahku....

TUMINAH: Mbaaaaak..

BLEKI: (LARI-LARI) Bang, bang Kumis. Di mana kamu. bang.



DUA PULUH DELAPAN


(SEMUANYA BERKUMPUL DI PATUNG JULINI YANG KINI SENDIRIAN LAGI, PATUNG-PATUNG LAIN AGAKNYA SUDAH PULANG KE TEMPAT MASING-MASING KETIKA KERIBUTAN TERJADI)


ASNAH: Habis, habis semua.

ORANG-1: Cabo gila itu juga habis.

TUMINAH: Dan mbak Tarsih.

ROIMA: (MUNCUL)

TUMINAH: Roima..

ROlMA: Ya. aku dengar semuanya, aku lihat semuanya. Ini bukan kejadian biasa. Ini pasti ada apa-apanya.

TIBAL: (MUNCUL BERLUMURAN DARAH) Aku sudah bunuh Kumis.

TUMINAH: Kang....

ROIMA: Kita harus tanyakan ini semua, kita menghadap. Kita harus bertanya, kita harus ber­tanya..

(SEMUA BERGERAK KE KANTOR PEJABAT)



DUA PULUH SEMBILAN


PEJABAT DIKAWAL PETUGAS DAN DUA SATPAM, SIAP MENERIMA.


PEJABAT: Bawa masuk semua yang ingin menghadap.

ROIMA: Kami semua sudah ada di sini, pak.Kami ingin tanyakan kenapa musibah ini terjadi.

PEJABAT: (MARAH) Lho, memangnya saya serba tau? Musibah ya musibah. Kita akan selidiki itu semua dan menyeret yang bersalah. Tapi kalau memang musibah, ya mau bilang apa? Api memang sulit diduga. Ini cuma rnusibah, percayalah, cuma musibah. Pendeknya saya berjanji, di tempat bekas kebakaran nanti akan kita dirikan bangunan yang lebih balk lagi. Puas?

ROIMA: Memang itu yang bapak maui, bukan.

PEJABAT: Setan goblok, jangan menuduh sembarangan. Kebakaran di mana pun bisa terjadi. Tidak boieh bercuriga dulu, selidiki dulu.

ROIMA: (BERTERIAK)

Dua kali kita diusir. Sekarang dengan cara yang lebih sadis lagi. Pergi ke mana lagi kita? Kita ini memang cuma kecoa. Yang selalu mengintip kesempatan dengan mata beringas. Tapi kesempatan yang kita peroleh cuma bagian kita. Kita harus kembali ke lubang-lubang bawah tanah, ke got-got, ke gorong-gorong. ke lubang WC. Itu tempat kita.

T. SULAP: Beli obat semprot saya, ini antinya, ya Tuhan, ini antinya. Kecoa-kecoa itu harus dibasmi sampai ke anak cucunya. Harus. Jika tidak, kecoa itu suatu saat akan makin berkembang biak dan kita kewalahan. Mereka akan mendesak kita, jika dibiarkan, akan mengganyang kita, melumat kita. Mengapa tidak awas. Belilah obai semprot saya, ini anti kecoa, manjur. Jangan sampai nasi jadi bubur. Jangan sampai para kecoa itu mendorong kita ke lubang kubur, jangan sampai zaman para kecoa muncul. Payah kita nanti. Percayalah.

PEJABAT: Panggil para pengawal, situasi ini sudah muiai berbahaya.


(DENGAN LANGKAH PERLAHAN TAPI PASTI, KELOMPOK ROIMA MAJU MENUJU KE PEJABAT YANG SUDAH DIKELILINGI OLEH PASUKAN ANTI HURU-HARA LENGKAP DENGAN HELM-NYA)


(HENING. TEGANG)


(PADA SAAT KELOMPOK SUDAH SIAP MENGGEBUK; IBARAT AJAG-AJAG YANG MENGHADAPI MANGSA, ROIMA MENGAMBIL KEPUTUSAN YANG TAK TERDUGA)


ROIMA: Saudara-saudara, stop! Cukup sampai di sini saja kita. Stop! Kendurkan otot-otot. Tenangkan darah yang menggelegak. Kekerasan bukan penyelesaian. Pakai otak saudara, jangan hanya melulu pakai tinju dan tendangan. Saatnya belum tiba saudara-saudara, belum tiba. Ini masih belum zaman kita. Zaman kita barangkali besok atau lusa, atau satu abad lagi. Tapi pasti tiba. Gusti Jayabaya sudah meramalkannya, sudah meramalkannya. Jadi sabar dan tabahlah. Tanggung segala beban biar seberat apapun, tanggung tanpa mengeluh.

ORANG-1: Omong apa kamu? Tancap saja jangan dengarkan dia, memangnya dia pemimpin kita? Tanganku sudah gatal, kita sudah kepalang, tidak punya apa-apa lagi, mati juga tidak apa.

TIBAL: Roima betul, kalau mau menang jangan dengan pisau di tangan tapi dengan akal di kepala. Aku baru saja membunuh orang, ini pisauku masih berlumuran darah, siapa tidak setuju sama Roima, maju, biar kuhabisi sekaligus. Maju, siapa berani?

PEJABAT: (TERIAK) Ini apa, diskusi di tengah medan perang? Mau perang tidak? Ayo maju, aku sudah tidak sabar, jangan banyak omong, pelatuk sudah ditarik tinggal dor. Ayo maju dan mati!

ROIMA: Jangan kuatir pak, kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita hanya akan kembali ke tempat di mana seharusnya kami ada, kalau itu memang kehendak bapak. Kita akan kembali. Kembali, kembali.. tempat kita bukan di sini.

(ORANG-ORANG DENGAN DIAM BERANJAK PELAHAN KE GOT-GOT)

BANCI-1: Back to kampus!


PENUTUP. SEMUA MENYANYI. SEBUAH TIRAI TIPIS TURUN DARI LANGIT. MENUTUPI BAGIAN PEJABAT DAN KONCO-KONCONYA. SEBUAH DINDING YANG SAMAR.


LAMPU BERUBAH



TIGA PULUH


PENUTUP. SEMUA MENYANYI.


JULA-JULI ANJING BERINGAS


KITA INI ANJING-ANJING BERINGAS

TAI DAN EMAS KITA MAKAN

HARAM HIDUP DARI BELAS KASIHAN

KEBAHAGIAAN HARUS DIRAMPAS

DENGAN AKAL

DENGAN TANGAN KITA

DENGAN KEKERASAN

JIKA TIDAK, KITA TETAP SENGSARA


KITA INI KUMPULAN AJAG

SIAP BERTARUNG JIKA TERPAKSA

UANG TIDAK JATUH DARI LANGIT

DAN DOA-DOA BERING TIDAK BERGUNA

KEHORMATAN ADALAH

KEKUASAAN DAN HARTA

REBUT, REBUTLAH

JIKA TIDAK, KITA TETAP TERHINA

JiKA TIDAK, KITA TETAP TERHINA


(MEREKA KEMBALI KE TEMPAT ASAL, DUNIA BAWAH TANAH, YANG GELAP, BACIN, BECEK DAN NAMPAKNYA TANPA HARAPAN)


LAMPU PADAM

SANDIWARA SELESAI

Jakarta, 6 Februari 1985

N. RIANTIARNO


* Mementaskan naskah sandiwara ini harus seizin pengarangnya, atau pada TEATER KOMA, Jakarta *